Laki-Laki Kecil Dimarahi Ibu, Besar Dimarahi Ayah, Tua Dimarahi Istri
Sedudoshare -
Siklus Lelaki, Dimarahi Sepanjang Usia: Tapi Untuk Apa?
“Laki-laki, dari kecil sampai tua, tetap saja dimarahi. Tapi justru dari sanalah dia belajar menjadi manusia.”
Pendahuluan: Di Balik Setiap Teguran Ada Pelajaran
Sebagian orang mungkin menganggap nasib laki-laki dalam hidup ini cukup tragis:
-
Waktu kecil dimarahi ibu
-
Sudah besar dimarahi ayah
-
Sudah tua pun, dimarahi istri
Kalau hanya dilihat sekilas, kisah ini tampak seperti perjalanan penuh tekanan. Tapi jika direnungkan lebih dalam, ada pelajaran hidup luar biasa di balik pola ini. Ada proses pembentukan karakter yang berlangsung diam-diam dalam teguran yang terdengar keras. Artikel ini akan membedah sisi unik dari perjalanan seorang laki-laki dalam siklus kehidupan dan mengapa "dimarahi" justru menjadi jalan menuju kedewasaan sejati.
1. Kecil Dimarahi Ibu: Disiplin dalam Kasih Sayang
Di masa kanak-kanak, peran ibu tak tergantikan. Ia adalah figur sentral dalam membentuk kepribadian dasar. Marahnya ibu bukan tanpa alasan—biasanya karena hal-hal yang tampaknya sepele: makan berantakan, malas mandi, atau terlalu banyak main.
Namun dari sanalah anak laki-laki belajar banyak hal:
-
Tentang tanggung jawab kecil (seperti merapikan mainan)
-
Tentang batasan (tidak boleh bicara kasar, tidak meniru hal buruk)
-
Tentang rasa hormat
Ibu memang cerewet, tapi cerewetnya penuh cinta. Dimarahi ibu adalah bentuk perhatian yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Karena ibu tahu: laki-laki harus belajar dari awal bagaimana menjadi manusia yang tahu arah.
2. Besar Dimarahi Ayah: Didikan Kehidupan Nyata
Saat beranjak dewasa, laki-laki menghadapi dunia yang lebih luas. Di sinilah ayah mengambil alih tongkat estafet. Jika ibu menanam dasar-dasar moral, maka ayah mengasah logika, keberanian, dan prinsip hidup.
Teguran ayah biasanya lebih dingin, pendek, tapi menohok:
“Kalau mau dihargai, belajar tanggung jawab.”
“Jangan manja. Hidup itu keras.”
Dimarahi ayah bukan karena benci, tapi karena cinta yang tak pandai diekspresikan. Ayah ingin anak laki-lakinya kuat menghadapi badai hidup. Ayah ingin anaknya tak tumbang hanya karena kegagalan kecil.
Ayah mengajari bahwa menjadi laki-laki bukan soal otot, tapi keteguhan hati.
3. Tua Dimarahi Istri: Bukan Tentang Ego, Tapi Tentang Perhatian
Lalu datanglah fase pernikahan. Mungkin inilah masa paling penuh ironi. Laki-laki yang telah matang, mandiri, bahkan sukses pun… tetap bisa kena semprot. Kali ini dari istri.
Namun berbeda dengan ibu dan ayah yang mendidik, istri lebih banyak menegur karena komunikasi. Kadang karena:
-
Kurang peka
-
Terlalu cuek
-
Lupa janji
-
Asyik main HP saat istri curhat
Dimarahi istri tak lagi tentang bentuk didikan, tapi soal kebutuhan untuk hadir secara emosional. Dimarahi istri menandakan ada ekspektasi yang belum terpenuhi.
Teguran istri seringkali terasa menjengkelkan, tapi justru dari situlah laki-laki belajar tentang kesetaraan, mendengarkan, dan menjadi pasangan yang utuh—bukan hanya pencari nafkah.
4. Mengapa Harus Dimarahi? Apakah Laki-Laki Selalu Salah?
Tentu tidak. Tapi inilah realitas budaya yang telah terbangun lama. Laki-laki didorong untuk menjadi "tangguh", dan cara paling efektif dalam banyak keluarga untuk menumbuhkan ketangguhan adalah melalui teguran dan tekanan.
Namun seiring perkembangan zaman, pendekatan ini mulai berubah. Hari ini, banyak keluarga mulai memahami pentingnya komunikasi dua arah dan kasih sayang yang tak selalu dibungkus kemarahan.
Tetapi warisan lama ini tetap menjadi bahan refleksi: bahwa laki-laki pun perlu ruang untuk dimengerti. Bahwa laki-laki pun manusia, bukan robot yang selalu kuat, selalu siap, dan selalu benar.
5. Dimarahi = Dicintai? Bisa Jadi, Tapi...
Benar, banyak kemarahan muncul dari cinta. Tapi tidak semua bentuk marah mendidik. Teguran yang baik adalah:
-
Jelas maksudnya
-
Tidak merendahkan
-
Disampaikan dengan empati
Jika tidak, laki-laki bisa tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, defensif, bahkan mudah marah juga. Maka, penting bagi semua pihak—baik ibu, ayah, maupun istri—untuk tahu bahwa cinta sejati tak selalu harus berbentuk marah.
Kesimpulan: Dari Dimarahi Menuju Dihargai
Perjalanan laki-laki bukan hanya soal dibentuk oleh amarah. Tapi tentang bagaimana ia bisa belajar dari semua itu dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Mulai dari anak kecil yang takut ibu, remaja yang bingung dengan ayah, hingga suami yang bingung menghadapi istri, semua itu adalah fase pembentukan karakter.
Dan jika laki-laki mampu melewati semuanya dengan hati terbuka dan pikiran yang dewasa, ia akan sampai pada titik tertinggi: bukan hanya menjadi laki-laki yang kuat, tapi laki-laki yang bijak.
Oleh: Rahmad Widodo | Nganjuk
Tidak ada komentar