Breaking News

Ketika Aku Memanusiakan Seseorang yang Ternyata Setan

Saya Pernah Memanusiakan Seseorang
Saya Pernah Memanusiakan Seseorang yang Ternyata Setan

SedudoshareAda satu masa dalam hidup saya yang kalau diingat sekarang, rasanya seperti menertawakan luka yang dulu sempat berdarah. Saya pernah memanusiakan seseorang yang ternyata setan. Bukan dalam arti harfiah, tentu saja. Tapi dalam bentuk yang lebih menyeramkan: manusia bertopeng malaikat, tapi berhati iblis.

Saya percaya setiap orang layak diberi kesempatan. Kita semua punya sisi gelap, punya masa lalu, dan punya luka. Dan saya—dengan naifnya—berpikir bahwa kasih sayang bisa mengubah segalanya. Saya menyambut dia dengan tangan terbuka, merawat lukanya, memberi tempat nyaman untuk ia berteduh dari badai kehidupan. Tapi ternyata, dia cuma butuh tempat untuk menajamkan tanduk dan menyusun siasat.

Dia datang dengan wajah sendu, kata-kata manis, dan cerita penuh luka. Saya yang terlalu percaya, terlalu ingin jadi pahlawan untuk orang lain, lupa menjaga diri sendiri. Saya mengalah, saya memaklumi, saya sabar. Bahkan saat dia mulai menyakiti, saya tetap bertahan. Karena saya pikir: “Mungkin dia cuma sedang terluka.” Tapi ternyata, dia memang senang melukai.

Saya pikir dia korban. Ternyata dia predator. Saya pikir dia manusia biasa yang perlu pelukan. Ternyata dia setan yang sedang mencari korban baru.

Sakit? Banget. Tapi di balik luka itu, saya belajar. Tentang batas. Tentang kewarasan. Tentang pentingnya mencintai diri sendiri sebelum mencoba menyelamatkan orang lain. Saya belajar bahwa tidak semua orang layak diselamatkan. Dan tidak semua ‘kesedihan’ pantas dipercaya.

Kadang, yang kita anggap korban, justru sedang memanfaatkan empati kita untuk bertahan dalam kebusukannya.

Sekarang? Saya bukan lagi orang yang mudah percaya. Tapi bukan berarti saya berubah jadi dingin. Saya tetap punya hati, hanya saja kali ini saya pastikan siapa yang layak masuk ke dalamnya.

Dan untuk dia—si setan bertopeng manusia—terima kasih. Tanpamu, saya nggak akan jadi sekuat ini. Kamu mengajari saya cara bertahan, dengan cara yang kejam. Tapi saya hidup. Dan saya tidak akan jatuh di lubang yang sama lagi.

Oleh: Rahmad Widodo | Nganjuk

Tidak ada komentar