Sampangan Jadi "Markas" Penjual Gandos, Pedagangnya Hanya Keliling Gajahmungkur
MESKI masih siang, langit di atas wilayah Kecamatan Gajahmungkur mulai gelap. Mendung nampak menggantung. Seorang lelaki nampak tergopoh-gopoh membawa pikulan di sepanjang Jalan Menoreh Raya. Sampai di depan Taman Sampangan, ia pun meletakkan pikulannya setelah dua karyawan sebuah toko memanggilnya.
"Pak, beli gandosnya. Lima ribu tanpa gula, lima ribu memakai gula,'' kata pembeli bernama Santi dan Mulyani itu.
Dengan cekatan, tangan lelaki bernama Rejo (53), warga kelahiran Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati itu pun langsung mengambil beberapa potong gandos dan dibungkusnya dengan kertas minyak. Dua lembar lima ribuan pun diterimanya.
''Penjual gandos di Semarang ini sudah jarang. Saya hanya sering melihatnya di Sampangan. Karena, kebanyakan yang jual gandos, tinggal di Sampangan,'' kata Santi (20) warga Krapyak yang sehari-hari bekerja di salah satu toko yang ada di dekat Taman Sampangan.
Ketika berbincang dengan saya, bapak dua anak itu mengaku berjualan makanan tradisional gandos sudah 10 tahun lebih. Gandos, begitu warga Semarang dan Blitar menyebutnya. Bagi warga Surabaya, Boyolali, Wonosobo, menyebutnya dengan rangin. Warga Jakarta mengistilahkan kue pancong, warga Bandung menyebutnya bandros, warga Bojonegoro mengatakan tratak jaran, dan warga Bali memberi nama daluman. Makanan ringan yang terbuat dari adonan tepung beras dicampur santan kelapa ditambah garam secukupnya.
Dibuat di dalam cetakan loyang dengan api superpanas di bawahnya. Pengaruh garam membuat dominasi rasa gurih jajanan tradisional ini. Bagi penyuka rasa manis, biasanya cukup meminta sedikit taburan gula tebu di permukaanya.
Rejo tidak tahu pasti, kapan gandos mulai ada di tengah-tengah masyarakat. Di luar peristiwa penting, dia yang hanya lulusan SD mengakui, untuk mengingat sejarah soal gandos tak menguasainya. Mungkin gandos lebih tua dari usianya dengan wajahnya yang kini mulai berkerut.
''Sudah 10 tahun saya jualan gandos. Saya kos di Gunung Talang, Sampangan. Setiap bulan pasti pulang ke Sukolilo. Karena, keluarga disana semua. Kalau berangkat jualan tidak pasti. Hari ini berangkat setelah shalat Dhuhur,'' tuturnya.
Rejo mengaku, 10 tahun yang lalu, ia menjual gandos per potongnya Rp 250. Sekarang ini ia jual Rp 500 per potongnya.
Rejo dalam berjualan gandos tidak sendiri. Di Sampangan juga ada penjual gandos yang setiap hari juga berkeliling di wilayah Kecamatan Gajahmungkur. Namanya Walimin (58), Tumiran (50), Warji (52), Maryanto (54), Giman (45) yang sama-sama berasal dari Boyolali.
Untuk mempertahankan rasa maupun gurihnya gandos, mereka mengaku tidak pernah menyampur adonan yang terdiri dari kelapa, tepung beras, gandum, garam, dan gula dengan pemanis maupun bahan pengawet.
''Makanan ini disukai orang-orang usia 30-an ke atas yang memiliki kisah masa kecil yang indah, tapi anak-anak kecil juga suka sekali. Penjual gandos di Kota Semarang juga tidak banyak. Makanya, kami harus menjaga rasa dengan tidak menambah bahan lain, pengawet sekalipun,'' imbuh Walimin.
Suara Merdeka pun membeli gandos Rp 5.000. Rasa gandos dengan khas gurih karena adonan bercampur dengan parutan kelapa muda memang tidak bisa dilupakan begitu saja meski saat ini banyak hadir olahan makanan modern. Gandos tetap memiliki tempat tersendiri di lidah para penggemarnya. Apakah Anda juga menyukainya? Atau justru belum pernah merasakan makanan ini? (KS)
"Pak, beli gandosnya. Lima ribu tanpa gula, lima ribu memakai gula,'' kata pembeli bernama Santi dan Mulyani itu.
Dengan cekatan, tangan lelaki bernama Rejo (53), warga kelahiran Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati itu pun langsung mengambil beberapa potong gandos dan dibungkusnya dengan kertas minyak. Dua lembar lima ribuan pun diterimanya.
''Penjual gandos di Semarang ini sudah jarang. Saya hanya sering melihatnya di Sampangan. Karena, kebanyakan yang jual gandos, tinggal di Sampangan,'' kata Santi (20) warga Krapyak yang sehari-hari bekerja di salah satu toko yang ada di dekat Taman Sampangan.
Ketika berbincang dengan saya, bapak dua anak itu mengaku berjualan makanan tradisional gandos sudah 10 tahun lebih. Gandos, begitu warga Semarang dan Blitar menyebutnya. Bagi warga Surabaya, Boyolali, Wonosobo, menyebutnya dengan rangin. Warga Jakarta mengistilahkan kue pancong, warga Bandung menyebutnya bandros, warga Bojonegoro mengatakan tratak jaran, dan warga Bali memberi nama daluman. Makanan ringan yang terbuat dari adonan tepung beras dicampur santan kelapa ditambah garam secukupnya.
Dibuat di dalam cetakan loyang dengan api superpanas di bawahnya. Pengaruh garam membuat dominasi rasa gurih jajanan tradisional ini. Bagi penyuka rasa manis, biasanya cukup meminta sedikit taburan gula tebu di permukaanya.
Rejo tidak tahu pasti, kapan gandos mulai ada di tengah-tengah masyarakat. Di luar peristiwa penting, dia yang hanya lulusan SD mengakui, untuk mengingat sejarah soal gandos tak menguasainya. Mungkin gandos lebih tua dari usianya dengan wajahnya yang kini mulai berkerut.
''Sudah 10 tahun saya jualan gandos. Saya kos di Gunung Talang, Sampangan. Setiap bulan pasti pulang ke Sukolilo. Karena, keluarga disana semua. Kalau berangkat jualan tidak pasti. Hari ini berangkat setelah shalat Dhuhur,'' tuturnya.
Rejo mengaku, 10 tahun yang lalu, ia menjual gandos per potongnya Rp 250. Sekarang ini ia jual Rp 500 per potongnya.
Rejo dalam berjualan gandos tidak sendiri. Di Sampangan juga ada penjual gandos yang setiap hari juga berkeliling di wilayah Kecamatan Gajahmungkur. Namanya Walimin (58), Tumiran (50), Warji (52), Maryanto (54), Giman (45) yang sama-sama berasal dari Boyolali.
Untuk mempertahankan rasa maupun gurihnya gandos, mereka mengaku tidak pernah menyampur adonan yang terdiri dari kelapa, tepung beras, gandum, garam, dan gula dengan pemanis maupun bahan pengawet.
''Makanan ini disukai orang-orang usia 30-an ke atas yang memiliki kisah masa kecil yang indah, tapi anak-anak kecil juga suka sekali. Penjual gandos di Kota Semarang juga tidak banyak. Makanya, kami harus menjaga rasa dengan tidak menambah bahan lain, pengawet sekalipun,'' imbuh Walimin.
Suara Merdeka pun membeli gandos Rp 5.000. Rasa gandos dengan khas gurih karena adonan bercampur dengan parutan kelapa muda memang tidak bisa dilupakan begitu saja meski saat ini banyak hadir olahan makanan modern. Gandos tetap memiliki tempat tersendiri di lidah para penggemarnya. Apakah Anda juga menyukainya? Atau justru belum pernah merasakan makanan ini? (KS)
Tidak ada komentar