Breaking News

Sejarah Kampung Grobogan, Tonyo, Benjol, dan Polisi

PEMBERIAN nama suatu daerah, tempat, atau jalan yang dikenal sebagai toponim, sudah dikenal masyarakat sejak awal keberadaannya. Toponim berasal dari bahasa Yunani, topos dan nomos. Topos berarti tempat, sedangkan nomos berarti nama. Sehingga, pengertian toponim adalah nama suatu tempat.
Dalam perkembangannya, pengertian toponim tidak hanya pada nama suatu tempat tetapi lebih luas, yaitu pada upaya untuk mencari asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologi nama suatu tempat/daerah. Kajian tentang toponim sangat erat dengan kajian sejarah. Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia memiliki banyak perkampungan yang lahir atau bahkan menjadi embrio kota.
Kampung-kampung kuno di Semarang selain mencerminkan aktivitas masyarakat penghuninya, juga beragam etnis yang mencari penghidupan di Semarang, seperti Arab, China, Melayu, dan Banjar. Nama-nama kampung kuno telah terbentuk jauh sebelum keberadaan kota ini.
Misalnya, Kampung Batik sebagai tempat perajin batik, Pedamaran sebagai tempat perdagangan damar/bahan pewarna batik, Sayangan sebagai tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga, Petudungan, tempatnya perajin caping, Kulitan sebagai tempat perajin/pengusaha kulit), Gendingan sebagai tempat pembuat gamelan, Pendrikan yang sebelumnya merupakan lahan milik Tuan Frederick dan sebagainya.
Nama Kampung Grobogan, Tonyo, Benjol, dan Polisi juga memiliki cerita unik. Pada 1800-an, seorang pencuri tertangkap basah oleh warga setelah mencuri perabot rumah tangga di Kampung Sayidan yang ada di wilayah Kecamatan Semarang Tengah. Oleh warga, pencuri itu pun dikejar dan tertangkap di Kampung Grobogan yang berada tidak jauh dari Kampung Sayidan. Pencuri itupun babak belur dihajar (ditonyo) warga hingga kepalanya benjol.
Setelah itu, sang pencuri diikat oleh warga di sebuah pohon Gayam. Aksi massa itu pun diketahui oleh seorang anggota polisi. Aksi massa lalu dilerai, pencuri pun selamat dari maut setelah disidik (diproses verbal) di kawasan yang kini disebut sebagai Kampung Perbalan.
Dari peristiwa itu, warga mengabadikannya untuk menyebut nama kampung yang sekarang lebih dikenal sebagai Kampung Pandansari. Sebelum terbagi menjadi Pandansari I hingga Pandansari XI, kampung itu memiliki beberapa nama, yakni Kampung Tonyo (sekarang menjadi Pandansari I), Kampung Benjol (sekarang Pandansari III), Kampung Polisi (sekarang Pandansari II) dan Kampung Gayam (sekarang Pandansari IV).
Sesepuh Kampung Pandansari, Haryanto (64) menuturkan, peristiwa yang terjadi pada masa kakek buyutnya itu hanya dikenal oleh kalangan tua saja. Sehingga, tidak banyak anak-anak muda yang mengetahui cerita tersebut. ''Kalaupun ada, mereka mendapat cerita dari orang tuanya, atau kakeknya. Kalangan tua di sini masih menyebut Kampung Tonyo, Kampung Polisi dan Kampung Benjol, ketimbang Pandansari,'' tutur bapak dua anak yang juga warga Jalan Pandansari I RT 5 RW 2.
Pensiunan pegawai DPKAD Kota Semarang yang juga Ketua RT itu menambahkan, hingga kini tidak ada bekas fisik atas peristiwa pencurian yang runtut dan diabadikan menjadi nama kampung. Meski hanya cerita yang tersisa, nama besar Kampung Tonyo, Kampung Benjol dan Kampung Polisi sempat dikenal pada masa yang cukup lama, antara 1800 hingga 1975. ''Pada 1975, warga menghendaki perubahan nama kampung ke salah satu anggota DPRD dari Partai Nahdlatul Ulama (PNU) yang berasal dari kampung ini, namanya Kiai Muhammad Ansori, dan jadilah Pandansari'' jelasnya. (KS

Tidak ada komentar