Kacang Lupa Kulitnya
Sedudoshare - Ketika Akar Terlupakan dan Langit Tak Lagi Dirindukan
Ada pepatah lama yang terucap dari bibir bijak nenek moyang kita — “kacang lupa kulitnya”. Sepintas terdengar ringan, seperti obrolan santai di teras rumah saat senja tiba. Namun di balik kalimat sederhana itu, tersimpan nasihat yang dalam, tajam, dan tetap relevan meski zaman berlari kencang. Ini bukan sekadar tentang kacang, bukan pula sekadar kulit. Ini tentang asal-usul, rasa hormat, dan janji pada diri sendiri agar tak mudah alpa ketika langit kehidupan mulai meninggi.
Makna yang Lebih Dalam dari Sekadar Kulit Kacang
Kita semua tumbuh dari akar. Ada rumah tempat pertama kali kita belajar berjalan, ada tangan-tangan tulus yang dulu menggendong saat kita rapuh, ada sahabat dan lingkungan yang memberi pijakan. “Kacang lupa kulitnya” menegur dengan halus orang-orang yang lupa dari mana mereka berasal — yang setelah mencapai puncak, tak lagi menoleh ke tanah tempat mereka dulu bertumbuh.
Dalam konteks modern, pepatah ini kerap dialamatkan pada mereka yang sukses, lalu lupa jasa orang tua, guru, teman, atau bahkan komunitasnya. Yang dulu merangkak bersama, kini tak lagi disapa. Yang dulu ikut mendorong saat lelah, kini tak lagi dianggap. Padahal, setinggi apa pun pohon menjulang, akarnya tetaplah di tanah. Sebesar apa pun pencapaian kita, ada jejak orang lain yang menorehkan tinta di perjalanan itu.
Ketika Popularitas Menyilaukan dan Lupa Membumi
Mari jujur. Di era sekarang — saat media sosial menjadi panggung megah — pengakuan dan pujian bisa membuat kepala melayang. Ribuan like, komentar penuh puja-puji, atau pencapaian karier seringkali membuat kita lupa pada masa-masa sulit yang dulu ditemani oleh mereka yang kini terlupakan.
“Ah, aku sudah beda level,” bisik ego.“Sudah bukan kelas mereka lagi,” tambah ambisi.
Padahal, tak ada salahnya terbang tinggi, asal jangan lupa menengok ke bawah. Jangan sampai kita menjadi seperti kacang yang lupa kulitnya — manis sendiri, tapi menanggalkan pelindung yang dulu membungkus dan merawatnya.
Tanda-Tanda Kita Mulai Lupa Kulit Sendiri
Supaya kita bisa mawas diri, mari kita tengok beberapa tanda halus bahwa seseorang (atau mungkin kita sendiri) mulai melupakan asal usul:
- Enggan pulang ke kampung halaman tanpa alasan jelas.
- Jarang atau tidak pernah lagi menyapa orang tua, guru, atau sahabat lama.
- Merasa risih atau malu mengakui latar belakang sederhana di hadapan teman baru.
- Tidak lagi berterima kasih kepada mereka yang dulu berjasa.
- Meremehkan atau merendahkan lingkungan lama yang dulu membentuk kita.
Menjadi Kacang yang Tak Lupa Kulitnya — Ada Caranya
Lalu, bagaimana agar kita tetap keren tanpa lupa daratan? Ada beberapa kunci yang bisa kita pegang:
- Syukuri akar dan perjalanan
Tak peduli seberapa sederhana atau sulit masa lalu kita, itu adalah bagian dari cerita yang menjadikan kita kuat hari ini. Jangan malu menceritakan perjalanan itu.
- Rawat silaturahmi
Sesibuk apa pun, sempatkan menyapa keluarga, guru, atau teman lama. Sekadar menanyakan kabar sudah cukup membuat mereka merasa dihargai.
- Beri manfaat kembali
Kalau kita sudah mampu, bantu dan dukung lingkungan yang dulu membantu kita. Entah lewat donasi, ilmu, atau sekadar kehadiran.
- Tetap rendah hati
Kesuksesan itu sementara, yang abadi adalah nama baik dan kebaikan hati. Orang bijak bilang, “Semakin berisi, padi semakin merunduk.”
Penutup — Langit Boleh Tinggi, Akar Jangan Terlepas
Hidup ini seperti pohon: akar, batang, dan daun punya perannya masing-masing. Tanpa akar, batang tak bisa tegak. Tanpa daun, batang tak bisa bernapas. Maka biarlah kita menjadi manusia yang berani terbang tinggi, asal ingat jalan pulang.
Kacang yang tak lupa kulitnya adalah simbol manusia yang paham bahwa keberhasilan adalah kolaborasi antara diri sendiri dan banyak tangan tak terlihat.
Kalau suatu hari nanti engkau berdiri gagah di atas panggung kehidupan, ingatlah mereka yang dulu rela menjadi pijakan saat kau susah. Sapa mereka, peluk mereka, dan ucapkan dengan tulus:
“Kesuksesan yang tidak menyapa masa lalu, adalah istana tanpa fondasi. Terbanglah setinggi langit, tapi jangan pernah lupa siapa yang mengajarkanmu cara mengepakkan sayap.”
“Jangan jadi kacang yang lupa kulitnya, jadilah bintang yang tetap menyapa bumi saat malam tiba.”
“Orang yang besar bukan yang meninggalkan asalnya, tapi yang menarik asalnya ikut besar bersama dirinya.”
Bayangkan sebuah biji kacang yang tumbuh di ladang sederhana. Awalnya kecil, tersembunyi dalam kulit cokelat yang kasar tapi hangat. Bertahun-tahun berlalu, biji itu tumbuh menjadi pohon besar dengan cabang menjulang dan daun lebat, daunnya menyentuh awan, rantingnya dihiasi burung-burung yang bernyanyi.
Tapi di bawah tanah, kulit kacang tua itu masih ada — menjadi humus, memberi nutrisi diam-diam, walau tak terlihat mata. Sang pohon besar tetap kuat karena akar-akarnya merambat dalam tanah tempat dulu kulit itu melindunginya.
Setiap kali angin berbisik, sang pohon bergoyang lembut, seakan berbisik,
“Terima kasih, aku tak lupa darimana aku berasal.”
| “Maturnuwun… tanpa kalian, aku bukan siapa-siapa.”
Source of Writing: Rahmad Widodo | Nganjuk
Tidak ada komentar