Djawahir Muhammad : Menjadi Seniman Sepanjang Hayat
SASTRA bukanlah sesuatu yang bersifat instan apalagi pragmatis. Sastra berkaitan erat dengan pengalaman batin terdalam. Kesetiaan dan kesediaan melakukan kontemplasi, sabar dan tekun amat dibutuhkan. Seseorang tidak bisa menempuh jalan pintas untuk bisa dicatat sebagai sastrawan hebat. Bila pun ada sejatinya itu hanya kamuflase, kenikmatan sesaat yang menyesatkan.
Pada akhirnya, waktu akan menunjukkan dengan jujur, mana bakat-bakat terbaik yang telah lulus dalam tempaan yang ketat sehingga pantas dicatat. Para pengarang yang memang memiliki bakat terbaik akan makin memesona karena puncak kepengarangannya makin jadi justru di usia tuanya. Itulah yang kini kita saksikan pada pengarang lansia semacam Sapardi, Goenawan, Taufik, Budi Darma, Frans Nadjira dan tentu saja Sunaryono Basuki Ks.
Sastrawan kita memang makin tua, tetapi mereka makin jadi, makin matang sebagai sastrawan. Justru, di usia tua, para sastrawan itu menunjukkan puncak kemampuannya dalam bersastra. Usia tua, bahkan sakit yang menjangkiti tidak malah melemahkan semangat mereka berkarya. Dalam tradisi bersastra, usia memang menjadi salah satu faktor penting. Seperti dikatakan Kurnia Efendi, usia tua seorang sastrawan bisa dianalogikan dengan kelapa yang makin tua juga makin banyak minyaknya. Seorang sastrawan yang makin tua tidak saja makin kaya pengalaman bersastra, tetapi juga mencapai kematangan dalam gaya ungkap.
Dan, kini, bermunculan persona yang aktif bersastra pada usia tak lagi muda. Mungkin mereka, dulu, selagi muda sudah bergiat dalam sastra. Lalu, ada jeda lumayan lama. Kemudian, ketika sudah mapan, kini kembali bergiat dalam lapangan kesusastraan.
Sebut saja, antara lain, Sulis Bambang (dengan Bengkel Sastra Maluku), Wardjito, Pia Cipta, Sofian Adrimen, Artvelo Sugiarto. Ada pula yang konsisten sejak dulu sampai sekarang, seperti Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Djawahir Muhammad, Dharmadi, Anis Sholeh Ba’asyin, Timur Sinar Suprabana, Eko Tunas, Wage Teguh Wijono, Handry TM, Triyanto Triwikromo. Ada yang “menghilang”, macam Untung Surendro. Apa sebenarnya yang mereka cari? Kegembiraan?
Bagi Djawahir Muhammad yang lahir di Semarang, pada 14 Januari 1954, dunia kesenian, utamanya teater dan sastra sudah digelutinya sejak usia muda. Di ranah sastra, dia mengekspresikan gagasannya melalui karya-karya puisi yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar di Indonesia. Sedangkan di ranah teater, dia merupakan pendiri dari kelompok Teater Kuncup dan Teater Aktor Studio yang mulai berkiprah sejak dasawarsa 1980-an.
Bagi Djawahir Muhammad yang lahir di Semarang, pada 14 Januari 1954, dunia kesenian, utamanya teater dan sastra sudah digelutinya sejak usia muda. Di ranah sastra, dia mengekspresikan gagasannya melalui karya-karya puisi yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar di Indonesia. Sedangkan di ranah teater, dia merupakan pendiri dari kelompok Teater Kuncup dan Teater Aktor Studio yang mulai berkiprah sejak dasawarsa 1980-an.
Karya Djawahir pun tidak sedikit. Mulai dari kumpulan puisi Sebutlah Ia Bunga, kumpulan puisi pribadi Malam Resah Hati Gelisah, cerita pendek, kumpulan puisi bersama tokoh di Jateng, serta sampai hari ini, ia mengisi rubrik Gambang Semarang di salah satu surat kabar.
“Saya bersastra sejak usia 25 ketika masih jadi mahasiswa Fakultas Publisitik Undip dengan menulis puisi. Dimulai bersama Pak Darmanto Jatman menulis kumpulan puisi mahasiswa beberapa fakultas berjudul Sebutlah Aku Bunga, kemudian menerbitkan lembaran Budaya Minggu Ini. Selain puisi, saya juga menulis kritik terhadap sastra itu sendiri,’’ tuturnya.
Baginya, dengan aktif di teater yang kebanyakan berisi orang-orang yang menggeluti sastra, menjadikan dua bidang itu saling mendukung. Melalui sastra, kata Djawahir, menjadikan seseorang bisa mengasah proses kehidupannya.
Karena, sastra yang sesungguhnya adalah ekspresi dari kehidupan sehari-hari yang menggunakan media bahasa dan berfungsi sebagai pengucapan manusia dengan kreatifitas dan pengalaman.
Bagi Djawahir, sastra, maupun cerpen atau karya lainnya, merupakan daya ungkap yang sangat individual, bahasa yang juga individual. Berbeda dengan bahasa jurnalistik yang obyektif. Karena, sastra sendiri menggunakan bahasa yang obyektif dan subyektif, tetapi ciri khasnya, sangat individual.
‘’Di sastra itu medium bahasanya banyak pilihan, diksi yang lebih luas, daripada bahasa jurnalistik yang harus menerapkan kaidah bahasa,’’ tandasnya.
Djawahir pun di usianya yang ke 63, masih aktif dalam dunia pementasan. Pada Nopember mendatang, ia pun tengah mempersiapkan pentas puisi dengan bentuk teatrikal berjudul Semarang Surga yang Hilang.
Djawahir juga berpesan kepada generasi muda yang tengah menggeluti dunia sastra untuk menambah bacaan. Tetapi, akan lebih baik lagi membaca kehidupan, menulis sastra dari belajar realitas yang terjadi di lingkungan. Jangan bertolak dari lingkungan, tetapi dari pemikiran, kreasi, dan filsafat.
“Ketika karya sastra lahir dari penggambaran lingkungan, maka ia akan menjadi seniman sepanjang hayat,’’ katanya. (KS)
Tidak ada komentar