Laporan Gatra Tentang LDII
Sedudoshare - Ketua Umum DPP LDII, Prof. Dr. Abdullah Syam, telah memberi klarifikasi pada MUI, Juni 2006. Intinya, LDII berbeda dengan Islam Jamaah. Tak ada sistem keamiran. Syariah dan akidahnya sama dengan umat Islam lain.
"Kami bukan Islam Jamaah. Anggapan ini mungkin karena dulu LDII menampung anggota Islam Jamaah," kata Abdullah. "Mereka kebanyakan sudah tua, dan banyak juga yang telah meninggal," katanya. "Kami tidak meneruskan ajaran Haji Nurhasan."
Ketua LDII Sulawesi Selatan, Hidayat Nahwi Rasul, bahkan akan memecat warganya yang masih menjalani Islam Jamaah. "Kami tegas, siapa pun warga LDII yang mengamalkan Islam Jamaah langsung dipecat," ujarnya.
Gatra mencoba menelusuri kantong-kantong LDII untuk membuktikan berbagai klaim itu. Saat azan magrib, Senin pekan lalu, reporter Gatra Rizal Harahap masuk masjid LDII di Jalan Pelajar Timur, Medan. Usai kumandang azan, ruang dalam masjid itu masih sepi. Berbeda dengan masjid lain yang langsung disesaki jamaah.
Sesaat kemudian, barulah jamaah datang satu per satu untuk menunaikan salat sunat. Setiap orang yang berpapasan dengan Gatra, laki-laki, perempuan, tua-muda, menyunggingkan senyum ganjil. Seolah tersirat makna: reporter Gatra kesasar atau dianggap agen intel. Belakangan ketahuan, kompleks itu kerap disusupi intel.
Salat berjamaah baru dimulai pukul 18.40. Hampir setengah jam dari awal waktu magrib di Medan: pukul 18.11. Jamaah tampaknya sudah biasa memperlambat awal salat. Itu pun masih banyak yang terlambat (makmum masbuk). Malah, salat berjamaah "trip kedua", masih banyak pesertanya.
Ada yang unik: anak-anak, malah balita, dibiarkan masuk di tengah saf pertama. Meski di saf kedua banyak pria dewasa. Sebagian tudingan miring pada kelompok itu tidak terbukti. Minimal selama Gatra di sana. Bekas tempat salat Rizal Harahap langsung dipakai jamaah lain. Tidak dipel lebih dulu karena non-LDII dianggap najis, seperti cerita yang berkembang selama ini.
Pengalaman serupa ditemukan Gatra di masjid Kantor Pusat LDII, Jalan Tawakal IX/18, Tomang, Jakarta Barat. Jarak azan dan awal salat magrib berjamaah juga cukup lama. "Orang asing" diterima leluasa bergabung melaksanakan salat magrib sekaligus isya. Tak ada aksi mengepel lantai. Beberapa anggota LDII juga enteng saja berjabat tangan dengan Gatra. Dulu banyak cerita, mereka enggan berjabatan tangan dengan orang lain.
Di Surabaya, reporter Gatra Ary Sulistyo, yang menunaikan salat jamaah di beberapa masjid LDII, tak diperlakukan sebagai "barang najis". Justru mendapat sambutan hangat. "Tuduhan mengepel bekas salat orang lain sama sekali tidak benar," ujar Kurniadi, Ketua Takmir Masjid LDII Sidosermo, Surabaya. "Lihat saja waktu salat Jumat, banyak warga non-LDII yang berjamaah. Cuma, kalau jadwalnya ngepel, ya, dipel."
Koresponden Gatra di Makassar, Anthony Djafar, juga tak menemukan aksi pembersihan lantai di masjid LDII. Di Sulawesi Selatan, lebih dari 100 masjid dibina LDII. Di Makassar ada 12 masjid. Satu yang terbesar adalah Masjid Nurul Hakim di Jalan Urip Sumoharjo, yang jadi kantor pengurus LDII Sulawesi Selatan. Semua perlakuan itu diperoleh awak Gatra sebelum memperkenalkan diri sebagai wartawan.
KH Ma'ruf Amin menjelaskan, klarifikasi DPP LDII telah dibahas Komisi Fatwa. "Kalau memang kondisinya seperti itu, seharusnya LDII bisa kita terima," katanya. Kini sedang dibahas oleh pengurus harian. MUI sedang menunggu klarifikasi LDII di tingkat wilayah dan cabang.
Ma'ruf telah berkeliling ke sejumlah basis LDII di Kediri, Jombang, Bandung, Lampung, dan sebagainya. Ia menjelaskan sikap MUI bahwa perbedaan bisa ditolelir, tapi penyimpangan harus diamputasi. "Selama perbedaan LDII masih dalam koridor yang ditolelir, bisa dimasukkan dalam kesatuan gerak umat Islam yang dikoordinasikan MUI," katanya.
Namun Amin Djamaluddin, Ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Jakarta, masih keberatan. Apa urusannya? Lembaga ini banyak meneliti dan menerbitkan buku-buku bertemakan kesesatan LDII. "Saya punya dokumen materi pengajian LDII sampai September 2006. Mereka tidak berubah," kata Amin, yang juga anggota Komisi Pengkajian MUI.
LDII dilaporkan masih mengultuskan Nurhasan Ubaidah dan memojokkan umat Islam lain. "Kami akan menerbitkan penelitian terbaru kami. Semua itu membongkar kebohongan mereka." Tapi Kiai Ma'ruf cenderung merangkul. "Ini ada orang menunjukkan niat baik, masa kita tolak," katanya. "Bahwa di lapangan masih ada yang menyimpang, kita benahi sambil jalan." Jadi, sertifikat mana yang bakal dikeluarkan MUI setelah pengkajian ulang? Halal atau tetap sesat.
Asrori S. Karni dan Mukhlison S. Widodo
[Agama, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 16 November 2006]
"Kami bukan Islam Jamaah. Anggapan ini mungkin karena dulu LDII menampung anggota Islam Jamaah," kata Abdullah. "Mereka kebanyakan sudah tua, dan banyak juga yang telah meninggal," katanya. "Kami tidak meneruskan ajaran Haji Nurhasan."
Ketua LDII Sulawesi Selatan, Hidayat Nahwi Rasul, bahkan akan memecat warganya yang masih menjalani Islam Jamaah. "Kami tegas, siapa pun warga LDII yang mengamalkan Islam Jamaah langsung dipecat," ujarnya.
Gatra mencoba menelusuri kantong-kantong LDII untuk membuktikan berbagai klaim itu. Saat azan magrib, Senin pekan lalu, reporter Gatra Rizal Harahap masuk masjid LDII di Jalan Pelajar Timur, Medan. Usai kumandang azan, ruang dalam masjid itu masih sepi. Berbeda dengan masjid lain yang langsung disesaki jamaah.
Sesaat kemudian, barulah jamaah datang satu per satu untuk menunaikan salat sunat. Setiap orang yang berpapasan dengan Gatra, laki-laki, perempuan, tua-muda, menyunggingkan senyum ganjil. Seolah tersirat makna: reporter Gatra kesasar atau dianggap agen intel. Belakangan ketahuan, kompleks itu kerap disusupi intel.
Salat berjamaah baru dimulai pukul 18.40. Hampir setengah jam dari awal waktu magrib di Medan: pukul 18.11. Jamaah tampaknya sudah biasa memperlambat awal salat. Itu pun masih banyak yang terlambat (makmum masbuk). Malah, salat berjamaah "trip kedua", masih banyak pesertanya.
Ada yang unik: anak-anak, malah balita, dibiarkan masuk di tengah saf pertama. Meski di saf kedua banyak pria dewasa. Sebagian tudingan miring pada kelompok itu tidak terbukti. Minimal selama Gatra di sana. Bekas tempat salat Rizal Harahap langsung dipakai jamaah lain. Tidak dipel lebih dulu karena non-LDII dianggap najis, seperti cerita yang berkembang selama ini.
Pengalaman serupa ditemukan Gatra di masjid Kantor Pusat LDII, Jalan Tawakal IX/18, Tomang, Jakarta Barat. Jarak azan dan awal salat magrib berjamaah juga cukup lama. "Orang asing" diterima leluasa bergabung melaksanakan salat magrib sekaligus isya. Tak ada aksi mengepel lantai. Beberapa anggota LDII juga enteng saja berjabat tangan dengan Gatra. Dulu banyak cerita, mereka enggan berjabatan tangan dengan orang lain.
Di Surabaya, reporter Gatra Ary Sulistyo, yang menunaikan salat jamaah di beberapa masjid LDII, tak diperlakukan sebagai "barang najis". Justru mendapat sambutan hangat. "Tuduhan mengepel bekas salat orang lain sama sekali tidak benar," ujar Kurniadi, Ketua Takmir Masjid LDII Sidosermo, Surabaya. "Lihat saja waktu salat Jumat, banyak warga non-LDII yang berjamaah. Cuma, kalau jadwalnya ngepel, ya, dipel."
Koresponden Gatra di Makassar, Anthony Djafar, juga tak menemukan aksi pembersihan lantai di masjid LDII. Di Sulawesi Selatan, lebih dari 100 masjid dibina LDII. Di Makassar ada 12 masjid. Satu yang terbesar adalah Masjid Nurul Hakim di Jalan Urip Sumoharjo, yang jadi kantor pengurus LDII Sulawesi Selatan. Semua perlakuan itu diperoleh awak Gatra sebelum memperkenalkan diri sebagai wartawan.
KH Ma'ruf Amin menjelaskan, klarifikasi DPP LDII telah dibahas Komisi Fatwa. "Kalau memang kondisinya seperti itu, seharusnya LDII bisa kita terima," katanya. Kini sedang dibahas oleh pengurus harian. MUI sedang menunggu klarifikasi LDII di tingkat wilayah dan cabang.
Ma'ruf telah berkeliling ke sejumlah basis LDII di Kediri, Jombang, Bandung, Lampung, dan sebagainya. Ia menjelaskan sikap MUI bahwa perbedaan bisa ditolelir, tapi penyimpangan harus diamputasi. "Selama perbedaan LDII masih dalam koridor yang ditolelir, bisa dimasukkan dalam kesatuan gerak umat Islam yang dikoordinasikan MUI," katanya.
Namun Amin Djamaluddin, Ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Jakarta, masih keberatan. Apa urusannya? Lembaga ini banyak meneliti dan menerbitkan buku-buku bertemakan kesesatan LDII. "Saya punya dokumen materi pengajian LDII sampai September 2006. Mereka tidak berubah," kata Amin, yang juga anggota Komisi Pengkajian MUI.
LDII dilaporkan masih mengultuskan Nurhasan Ubaidah dan memojokkan umat Islam lain. "Kami akan menerbitkan penelitian terbaru kami. Semua itu membongkar kebohongan mereka." Tapi Kiai Ma'ruf cenderung merangkul. "Ini ada orang menunjukkan niat baik, masa kita tolak," katanya. "Bahwa di lapangan masih ada yang menyimpang, kita benahi sambil jalan." Jadi, sertifikat mana yang bakal dikeluarkan MUI setelah pengkajian ulang? Halal atau tetap sesat.
Asrori S. Karni dan Mukhlison S. Widodo
[Agama, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 16 November 2006]
Tidak ada komentar