Breaking News

Aku Ingin Cantik


SedudoshareOrang bilang cinta itu butuh pengorbanan jika ingin mendapatkannya, aku pun berpikir begitu. Selalu berusaha untuk mendapatkan cinta mama, entah sudah berapa cara dan pengorbanan. Terkadang fisik dan hati sudah lelah.

Aku iri dengan kakak yang selalu mendapat perhatian dari mama.

Anisa Zahra Putri, begitulah namaku. Tinggal bersama mama dan kakak membuat diri ini merasa kesepian, rasanya aku hanya hidup sendiri. Ayah sudah meninggalkan kami sejak satu tahun lalu.

Kulit kuning langsat, rambut sebahu, dan badanku agak berlemak. Berbeda dengan Kak Ara yang berkulit putih, badan langsing, serta wajah cantik. Mama juga masih terlihat cantik, walaupun sudah berkepala empat.

Mama sering mengeluh karena malu mempunyai anak sepertiku, bukan hanya mama aku juga begitu. Setiap ada acara bersama koleganya mama hanya mengajak Kak Ara.

"Zahra! Sini sebentar Mama mau bicara!" panggil Mama dari lantai satu. Seketika lamunanku buyar.

Bergegas menemui Mama.

"Kenapa, Ma?" tanyaku saat menghampirinya yang sedang sibuk dengan ponsel.

"Kamu beresin foto-foto ini, bentar lagi teman-teman Mama mau dateng," jawab Mama sembari menunjuk foto-foto bersama kami.

"Emang Bi Ina ke mana, Ma?" tanyaku.

"Lagi masak. Udah buruan, ntar mereka tahu lagi kalau Mama punya anak jelek kayak kamu!" Terasa ada sesuatu yang menusuk hati. Untuk ke sekian kali kata itu terdengar, tapi rasanya masih tetap sama. Sakit ....

Aku langsung bergegas membereskan foto itu, sebelum mendengar hinaan lagi. Hinaan orang lain bisa saja kuterima, tapi kalau itu keluarga sendiri aku tak bisa.

Kubawa foto-foto itu menuju kamar. Mengunci rapat pintu, kemudian menangis sejadi-jadinya. Apa Mama tidak tahu? Aku juga tak ingin hidup seperti ini.

Suara tawa masih terus terdengar dari lantai satu, mereka pasti sedang bersenang-senang. Kak Ara pasti juga ikut melupakanku, tak ada yang peduli denganku.

Krukk!

Perutku berbunyi, mungkin karena sejak tadi pagi aku belum makan. Ingin ke dapur, tapi takut ketahuan. Rasa lapar terus saja mengusikku, akhirnya keberanian diri mengendap-endap ke dapur.

Perlahan aku melangkah, untung jarak dapur dan ruang tamu cukup jauh. Penasaran dengan apa yang mereka lakukan, aku mengintip dari ruang keluarga.

Sepertinya Mama baru saja dapat uang arisan. Keputusan untuk ke dapur saja.

"Jeng, anak kamu bukannya dua?" Langkahku tiba-tiba berhenti mendengar pertanyaan teman Mama itu.

Aku melihat dari balik tirai, Mama terlihat sedikit bingung atau panik.

"Emm ... gak, anak aku cuma Ara." Mama tersenyum mengatakan itu, sementara aku diam membisu. Bagaikan ada batu yang menghimpit hati, sakit rasanya. Sakit sekali.

"Saya itu pernah lihat cewek di sini, tapi dia beda banget sama kamu," sahut teman Mama yang satunya, sementara yang lain hanya menyimak.

"Ohh, itu anak Bi Ina, pembantu saya." Mama menjawabnya santai, batu yang menghimpit hati terasa mengganda. Sesak.

Kuurungkan niat untuk ke dapur, perut sudah kenyang dengan ucapan mama. Apa tak ada sedikit saja cintanya untukku?

Terkadang terlintas di benak untuk mengakhiri hidup, tapi aku tak ingin mengecewakan almarhum ayah. Sebelum meninggal ia selalu menyemangatiku. Anak yang sering diejek jelek ini bagaikan berlian di matanya.

Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa saat ada masalah seperti ini, kecuali dengan salat. Teman? Aku tak punya itu karena mama melarangku sekolah sejak ayah meninggal. Ia bilang takut orang-orang tahu kalau aku anaknya.

Aku ikhlas tak sekolah, lagi pula sekolah pun tak bisa mebuatku punya banyak teman. Dulu aku bisa bertahan dengan bully-an teman-teman sekolah, tapi sekarang tak ada yang mendukung lagi.

"Bodoh kamu, Zahra! Kenapa tadi tak bisa menahan lapar? Kalau aja bisa, pasti kamu gak bakal dengerin mereka ngomong apa!" Aku mengutuk diri sendiri sembari memukul kepala. Air deras bak sungai kembali membasahi mata yang masih bengkak.

Melirik jam dinding ternyata sudah jam 4 sore, segera aku berwudhu dan menunaikan salat asar.

Tok! Tok! Tok!

"Non Zahra!" panggil Bi Ina dari balik pintu, aku beranjak dari tempat tidur. Kuhapus jejak-jejak air mata yang tersisa.

"Ini makan dulu, Non." Aku lupa masih ada yang memperhatikanku, yaitu Bi Ina.

Ia yang selalu mengerti aku, tapi tugas Bi Ina banyak hingga kami tak punya banyak waktu untuk bersama. Bi Ina sudah kuanggap seperti ibu.

"Non, udah gak usah sedih lagi kan ada bibi," ucap Bi Ina menenangkan. Ia meletakkan makanan di atas nakas.

"Mama gak sayang sama Zahra, Bi." Aku menangis sembari memeluknya. Berada di pelukan wanita paruh baya ini membuatku sedikit tenang.

"Udah, ya ...." Bi Ina membelai rambutku lembut, andai saja mama bisa seperti Bi Ina.

"Sekarang Non Zahra makan, ya." Bi Ina mengambilkan makanan yang tadi ia letakkan di atas nakas.

"Panggil Zahra aja Bi, gak usah pakai embel-embel 'non' segala," kataku kepada Bi Ina. Ia mengangguk dengan senyuman yang menyejukkan hati.

"Bibi ke dapur dulu, takut nyonya nyariin," pamit Bi Ina kemudian beranjak ke luar kamar.

Selesai makan aku memilih pergi ziarah ke makam ayah, saat turun tangga masih terdengar suara bising.

"Mereka belum pulang ternyata," gumamku sembari menuruni anak tangga.

Aku ke luar rumah melalui pintu belakang yang ada di dapur. Pergi tanpa pamit bukan hal yang baru untukku, meski tak pulang sekali pun tak ada yang memperhatikan. Mungkin hanya Bi Ina yang akan khawatir.

Tak butuh beberapa lama, aku sudah sampai di pemakaman umum dengan taxi. Mampir sebentar ke tempat penjual bunga, lalu menuju makam ayah.

Kupanjatkan doa untuk ayah di sana, lalu menaburkan bunga di atas makamnya. Lepas berziarah aku langsung pulang jalan kaki, jarak dari sini ke rumah tak terlalu jauh. Hitung-hitung olahraga, mungkin bisa membuatku kurus.

by: Michelle Ly

Tidak ada komentar