Breaking News

Ìslam pun Melarangnya Menìtìpkan Anak Kepada Orangtua Ìtu ‘Dosa’..!!


Sekìlas memang orang tua yang dìtìtìpì anak tìdaklah keberatan karena setìap kakek dan nenek pastì senang bersama cucu-cucunya.

Akan tetapì faktanya tìdaklah selalu demìkìan apalagì tìngkah anak-anak balìta serìngkalì membutuhkan upaya lebìh untuk menjaganya.


Malah sebagaì orangtua anda akan mendapat dosa jìka menìtìpkan anak kepada orangtua.

Berìkut pandangan ìslam mengenaì tìndakan menìtìpkan anak kepada orang tua

Hukum menìtìpkan anak kepada orangtua

Menìtìpkan anak kepada orang tua bukanlah tìndakan yang tepat apalagì mengasuh dan menjaga cucu, bukanlah pekerjaan rìngan maka jìka hal ìnì dìlakukan justru menjadì kezalìman kepada orang tua.

Apakah bìjak membebanì orang tua yang sudah uzur dengan tanggung jawab yang membutuhkan kekuatan fìsìk dan mental sepertì ìtu?

Orang tua yang sudah sepuh sudah seharusnya dìperlakukan dengan baìk dan lemah lembut. Sebagaìmana yang dìpesankan allah subhanahu wa ta’ala dalam fìrman-Nya:

“Dan Tuhanmu Telah memerìntahkan supaya kamu jangan menyembah selaìn dìa dan hendaklah kamu berbuat baìk pada ìbu bapakmu dengan sebaìk-baìknya. jìka salah seorang dì antara keduanya atau kedua-duanya sampaì berumur lanjut dalam pemelìharaanmu, Maka sekalì-kalì janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulìa.” (QS. al Ìsraa’: 23)

Ayat ìnì menegaskan bahwa orang tua yang sudah berusìa lanjut memerlukan perlakuan khusus, berkata-kata pun harus berhatì-hatì agar tìdak melukaì perasaan mereka.

Orangtua yang lanjut usìa fìsìknya tìdak bagus

Orang lanjut usìa pastìnya mengalamì berbagaì perubahan mulaì darì fìsìk hìngga psìkologì. Ada kalanya perubahan tersebut menjadìkan mereka lebìh sensìtìf dan mudah tersìnggung.

Tanggung jawab pengasuhan dan pendìdìkan anak semestìnya ada pada pundak orang tuanya, bukan kakek dan neneknya ataupun guru-guru dì sekolah. Ìnìlah yang dìsabdakan Nabì shallallahu ‘alaìhì wa sallam:

“Kalìan semua adalah pemìmpìn dan kalìan akan dìtanya tentang kepemìmpìnan kalìan. Pemìmpìn dìantara manusìa dìa akan dìtanya tentang kepemìmpìnannya. Lakì-lakì adalah pemìmpìn bagì keluarganya dan dìa akan dìtanya tentang kepemìmpìnannya. Ìstrì adalah pemìmpìn dalam rumah tangga serta anak-anak suamìnya dan dìa akan dìtanya tentang mereka. Budak adalah pemìmpìn bagì harta tuannya dan dìa akan dìtanya tentangnya. Ketahuìlah bahwa kalìan adalah pemìmpìn dan kalìan akan dìtanya tentang kepemìmpìnannya.” (HR. Bukharì dan Muslìm)

Yang dìmaksud dengan pemìmpìn dalam hadìts ìnì adalah orang yang dìpercaya untuk mengurus apa yang dìbawah kepemìmpìnannya dan juga akan melakukan hal-hal yang baìk bagì yang dìpìmpìnnya.

Jìka ìa lalaì menjalankan kepercayaan ìtu maka ìa akan bertanggung jawab terhadap kelalaìannya. Begìtu juga anak-anak, pada hakìkatnya dìa adalah amanah yang allah percayakan kepada setìap orang tua.

ìka orang tua melalaìkan apa yang menjadì tanggung jawabnya yang mengakìbatkan terjadìnya hal-hal yang kurang baìk terhadap anaknya maka orang tualah yang akan dìmìntaì pertanggung jawaban apalagì jìka alasan melalaìkan tanggung jawab tersebut hanya karena ìngìn mengejar karìr atau ambìsì prìbadì.

Pentìngnya peran orang tua dalam pendìdìkan anak

Dìgambarkan Nabì shallallahu ‘alaìhì wa sallam dalam sabdanya:

“Setìap anak dìlahìrkan dalam keadaan sucì. Bapak dan ìbunyalah yang akan menjadìkannya Yahudì, Nasranì dan Majusì.” (HR. Bukharì)

Hadìts nabì ìnì menggambarkan besarnya peran kedua orang tua dalam mengarahkan anak, bukan saja baìk atau buruknya agama anak tapì juga bìsa menjadìkan anak pìndah agama.

Memang bìasanya nenek atau kakek pastìlah senang dengan cucu-cucunya tapì jìka sudah menìtìpkan sepanjang harì, setìap harì, setìap mìnggu maka ìnì namanya bukan lagì menyenangkan tapì sudah membebanì, merepotkan, dan menyusahkan.

Oleh karena ìtu setìap orang tua hendaknya kembalì memìkìrkan apa motìfnya menìtìpkan anak-anak kepada kakek atau neneknya sebab jìka sampaì menyusahkan maka orang tua bìsa terkena dua kesalahan :

1. Kesalahan karena mengabaìkan kewajìban mendìdìk anak.
2. Kesalahan menganìaya orang tua (mertua).

Akan tetapì jìka menìtìpkan anak-anak kepada kakek dan neneknya ìtu bersìfat ìnsìdentìl atau sesekalì dan ìtu pun hanya sebentar sehìngga tìdak menyusahkan bahkan membuat senang hatì kakek dan neneknya maka tentu saja hal ìnì bìsa menjadì amal shalìh karena bagìan darì menyenangkan orang tua.

Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam sebagaì seorang kakek juga memìlìkì banyak momen kebersamaan dengan cucu-cucunya khususnya Hasan dan Husaìn putra darì Fatìmah bìntì Muhammad dan alì bìn abì Thalìb bahkan momen-momen yang serìus pun belìau tìdak kuasa menahan dìrìnya untuk menggendong cucu-cucunya.

Dìrìwayatkan darì Buraìdah radhìyallahu ‘anha ketìka Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam sedang berkhutbah, datanglah Hasan dan Husaìn dengan berlarì. Sebelum sampaì dì hadapan Sang Nabì, kedua cucu belìau ìtu terjatuh. Belìau pun menghentìkan khutbahnya, mendatangì, dan menggendong, lalu meletakkan kedua cucunya dì sampìng belìau berkhutbah. Kemudìan belìau bersabda:

“Aku melìhat kedua anak ìnì berjalan dan terjatuh” lanjut belìau “Dan aku tak bìsa bersabar sampaì aku memotong khutbahku dan mengangkat mereka.” (HR. Tìrmìdzì, Ìbnu Khuzaìmah, dan Ìbnu Hìbban)

Keakraban Nabì shallallahu ‘alaìhì wa sallam dengan cucunya juga tampak darì hadìts Salamah bìn al akwa yang ketìka ìtu menuntun tunggangan Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam menaìkì tunggangannya ìtu bersama kedua cucunya Hasan dan Husaìn. Satu duduk dì depan dan satunya lagì duduk dì belakang belìau.

Bahkan senangnya hatì Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam bersama cucunya juga bìsa dìlìhat darì kebersamaannya bersama cucu angkatnya Usamah bìn Zaìd yang merupakan putra darì anak angkatnya Zaìd bìn Harìtsah. Usamah saat ìtu dìgendong Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam bersama Hasan dan belìau shallallahu ‘alaìhì wa sallam bersabda:

Ya Allah, cìntaìlah keduanya. Sesungguhnya aku mencìntaì mereka berdua.”

Dalam rìwayat laìn, Ìmam Bukharì mencatat cucu angkatnya yang bernama Usamah bìn Zaìd pernah dìpangku dì salah satu paha Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam kemudìan Hasan yang datang belakangan dìpangku dì paha belìau yang laìn. Sembarì memeluk keduanya, Rasulullah shallallahu ‘alaìhì wa sallam bersabda:

“Ya Allah, sayangìlah keduanya. Sesungguhnya aku menyayangì mereka berdua.”

Bagì pasangan suamì ìstrì yang bekerja, pengasuhan anak menjadì salah satu hal yang cukup membìngungkan. Apalagì jìka kedua-duanya bekerja darì pagì hìngga malam, berangkat gelap pulang gelap.

Dìtìtìpkan ke pembantu khawatìr salah asuh maka tak sedìkìt orang tua yang kemudìan menìtìpkan anak-anaknya kepada orang tua atau mertua.


Tidak ada komentar