Mempertimbangkan Kondisi Politik Saat ini, Bukan Tak Mungkin Habib Rizieq Ditunjuk Menjadi Menteri
Sedudoshare - Habib Rizieq punya kans yang sangat besar untuk dipilih menjadi menteri.
Dari dulu, politik itu cair. Hukumnya memang sudah begitu dari sononya. Mangkanya, kalau ada pertanyaan “Selain es, benda padat apa lagi yang bisa dicairkan?” niscaya politik bakal masuk sebagai salah satu jawaban mendampingi coklat batangan, sertifikat, dan BPKB.
Politik, pada satu titik, bahkan lebih cair ketimbang air. Air, meski punya sifat berubah bentuk mengikuti tempat di mana ia berada, namun tetap saja ia terdiri dari hidrogen dan oksigen. Hal tersebut berbeda dengan politik yang, meskipun cair dan mengikuti tempat ia berada, namun unsur-unsur di dalamnya bisa berubah bahkan dengan hal-hal yang tak pernah disangka sebelumnya.
Dengan sifat cair yang secair-cairnya itu, maka bukanlah hal yang mengherankan jika dalam politik, apa saja bisa tumpah. Tak terkecuali kekuatan pendukung dan penopang. Ia bisa datang dan pergi begitu saja seiring dengan kepentingan politik kekuasaan.
Dengan aturan yang sama, bukan hal yang mengherankan juga jika nanti, atau bahkan setelah ini, seorang Habib Rizieq Shihab bakal dipilih menjadi menteri Jokowi.
Ini serius. Kita semua tahu, saat ini, NU dan Muhammadiyah mulai kerap tak sejalan dengan pemerintah, dengan segala kemungkinan yang ada, bukan mustahil jika kelak, seiring berjalannya waktu, baik NU dan Muhammadiyah tidak lagi diperhitungkan sebagai kekuatan penopang pemerintah dari sisi kelompok agama.
Sebagai gantinya, pemerintah bakal mulai mengalihkannya kepada kelompok Islam kanan yang memang saat ini kerap beririsan dengan sosok Habib Rizieq Shihab. Apalagi, belakangan ini, kita semua tahu bahwa kabar kepulangan Habib Rizieq telah menjadi salah satu peristiwa besar yang dikabarkan di mana-mana.
Bersamaan dengan kepulangan habib kita yang jatuh pada hari pahlawan, reputasi citra politik kemiskinan dan kesederhanaan Jokowi yang dahulu didukung masyarakat luas telah terjun begitu rendahnya, hal tersebut ditambah dengan kekecewaan dua ormas keagamaan yang diabaikan oleh Jokowi seperti kacang lupa kulit. Praktis, hal ini menyebabkan Jokowi mau tak mau harus merangkul golongan yang memiliki basis massa yang kuat untuk menopang roda kekuasaan yang tampak semakin berkarat.
Hal tersebut bukan omong kosong belaka, jauh-jauh hari, Soeharto telah lebih dahulu melakukannya. Ketika kekuatannya sudah mulai tumbang, ia menggunakan cara paling ampuh untuk menopang kembali kekuatannya, yakni dengan mengambil hati golongan yang selama ini ia tindas. Dan selama ini kita tahu betul, golongan yang tampak paling dijauhi oleh Jokowi dan antek-antek buzzernya itu tiada lain adalah golongan-golongan yang berada pada spektrum “Islam kanan,” termasuk di dalamnya adalah FPI.
Tidak susah membuktikan hal ini, sebab hanya dengan mengamati komentar para buzzer atas isu kepulangan Habib Rizieq saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa selama ini pemerintah tidak bersahabat dengan FPI.
Sayangnya, akhir-akhir ini, Jokowi tidak bisa menutup matanya begitu saja dan membiarkan perang dingin antara dia dan Habib Rizieq berlangsung terus menerus di tengah rontoknya popularitas yang ia punya. Maka, salah satu langkah paling masuk akal bagi Jokowi saat ini tiada lain adalah dengan berbalik haluan kepada umat Islam seperti yang dilakukan Soeharto.
Sinyal-sinyal bahwa kedua kubu ini bisa bersatu sudah terbaca lewat dua hal. Pertama, Habib Rizieq heboh dengan gagasan revolusi akhlak yang mirip dengan revolusi mental ala Jokowi. Hal itu menandakan bahwa ada kesamaan rasa di antara keduanya. Apalagi antara revolusi mental dan revolusi akhlak adalah revolusi yang dapat diduga hanya wacana belaka, sebab kita tahu, bagaimana mungkin mental dan akhlak bisa direvolusi kalau tidak menyertakan revolusi ekonomi-politik? Seolah-olah akhlak dan mental tidak dibentuk dan dikondisikan oleh struktur ekonomi dan politik.
Revolusi ekonomi-politik, tidak bisa tidak, hanya bisa terbentuk melalui kekuatan politik yang mantap dan tidak mudah goyah. Dan salah satu jalan untuk menuju fase tersebut adalah dengan kemanunggalan. Termasuk salah satunya kemanunggalan antara Jokowi dan Habib Rizieq, tentu saja.
Kedua, Habib Rizieq direncanakan bakal tiba di Indonesia pada tanggal bagus, yakni bertepatan dengan hari pahlawan. Tanggal kepulangan ini tentu saja bukan sembarang tanggal. Ada pesan tersirat yang dapat dibaca lewat pemilihan tanggal tersebut.
Menurut saya, pemilihan hari pahlawan bukan penanda bahwa Habib Rizieq datang untuk melawan oligarki yang menyerang rakyat dengan UU yang sedang ngetren itu, melainkan sebagai penguat dari gagasan revolusi akhlak sebagaimana yang digaungkan sedari awal oleh FPI.
Nah, untuk sebuah gerakan yang senapas dengan gagasan Jokowi, Bukankah sudah selayaknya seorang Habib Rizieq dijadikan sebagai pahlawan? Apalagi Jokowi selama ini punya hobby memberikan penghargaan kepada siapa pun yang sebelumnya tiada disangka-sangka.
Nah, dengan dua hal tersebut, peluang kerja sama antara keduanya menjadi amat terbuka.
Bukan sesuatu yang mustahil bagi Jokowi dan Habib Rizieq untuk menjalin hubungan baik atas nama rekonsiliasi. Jokowi diuntungkan dengan dihilangkan tuduhan-tuduhan anti-Islam, sementara Habib Rizieq bakal dikagumi karena berhasil menjadi pahlawan yang telah memperjuangkan Islam sampai diakomodir oleh negara.
Nah, jika rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo termanifestasi dengan dipilihnya Prabowo sebagai menteri pertahanan, maka bukan mustahil pula jika rekonsiliasi dengan Habib Rizieq juga diwujudkan dengan cara yang serupa.
Bukan hal yang susah bagi Jokowi untuk memilih Habib Rizieq sebagai seorang menteri. Kalaupun ternyata tidak ada kementerian yang pas untuk Habib Rizieq atau tidak ada menteri yang bisa digantikan oleh Habib Rizieq, Jokowi bisa saja membentuk kementerian baru. Ini hal yang sangat mungkin bagi Jokowi. Wong “memandulkan” KPK dan mengupayakan UU yang diprotes banyak orang saja Jokowi bisa, apalagi cuma membikin kementerian baru.
Ada banyak pilihan bidang yang bisa dipilih oleh Jokowi untuk di-kementerian-kan, misal Kementerian Koordinator Bidang Ormas, atau Kementerian Demokrasi dan Unjuk Rasa, atau Kementerian Usaha Pembelaan Agama. Jokowi tinggal pilih. Habib Rizieq tinggal ditanya apa saja kebutuhannya.
Ingat, politik itu selain seperti air, juga harus seperti pramuka: di sini senang di sana senang.
Source of Writing: Mojok
Tidak ada komentar