Breaking News

Rima Gadis Cilik Penjual Serabi


Sedudoshare - "Serabi ... serabi, masih anget siapa mau beli!"
Terdengar teriakan Rima gadis cilik penjual serabi. Setiap pagi ia menjajakan daganganya keliling kampung sebelum pergi sekolah. Usianya sekitar 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD.

Sudah 3 bulan ini ia menjajakan kue serabi ke kampung Tika. Rima tinggal berdua dengan neneknya. Ibunya meninggal sejak melahirkan Rima, bapaknya pergi meninggalkan ibunya ketika sedang mengandungnya. Dan sampai saat ini tak ada yang tahu keberadaannya.

Entah mengapa sejak mengenalnya, Tika merasa begitu sayang kepada Rima. Mungkin karena Tika anak tunggal jadi memandang Rima seperti seorang adik. Mungkin juga persamaan keadaan yang hampir sama.

Kalau Rima tinggal bersama dengan neneknya tanpa orang tua dengan keadaan yang kurang mampu, Tika lebih beruntung meski hanya tinggal dengan Ibunya tapi ia hidup berkecukupan sebab ketika ayahnya tiada, meninggalkan warisan yang cukup bagi kehidupan Tika dan Ibunya. Ibunya pun punya toko kelontong yang cukup laris sehingga bisa menopang kehidupan mereka berdua.

"Kak, Tika ... !"
Gadis kecil penjual serabi itu memanggil Tika. Ia tahu karena Tika pasti akan membeli dagangannya.

"Iyaaaa ..., tumben dagangannya tinggal sedikit?"
"Iya, kak ... Alhamdulillah."
"Kalau begitu serabinya kakak borong semua biar Rima tak terlambat ke sekolah."
"Terimakasih, kak." Jawab Rima dengan mata berbinar.

"Buat apa sih, nak?, kamu borong serabi sebanyak itu!" terdengar suara ibu Tika.
"Kasihan, Bu ... ini sudah hampir siang biar Rima nggak terlambat ke sekolah." Gadis yang masih duduk di SMU memberi alasan.

Tika memang suka membeli serabi dalam jumlah banyak. Ia tak tega melihat gadis cilik itu membawa setampah serabi diatas kepalanya. Serabi yang ia beli kadang dibagi ke tetangganya, kadang juga dibawa ke sekolah. Dan teman-temannya dengan senang hati menerimanya.

Tapi sudah hampir seminggu ini, Tika tidak melihat Rima gadis cilik penjual serabi itu. Tika kangen teriakan Rima menjajakan dagangannya keliling kampung. Ada rasa galau dan kehilangan.
"Bu, kok Rima gak jualan, apa ia sakit atau dagangannya habis sebelum ke kampung kita?"

"Kenapa, nak ... Kangen serabinya atau penjualnya?"tanya ibu Tika sambil menggoda.
"Kangen dua-duanya, bu." jawab Tika dengan wajah sedih.

"Ya sudah, nanti sepulang sekolah kamu cari tahu ke kampung sebelah biar tidak penasaran, sekarang cepat berangkat nanti terlambat ke sekolah!"
"Iya, Bu."
Rika memeluk Ibunya. Ia bersyukur punya Ibu yang baik hati dan penuh kasih sayang.

Sepulang sekolah Tika langsung memacu motornya ke kampung sebelah setelah berpamitan dengan Ibunya lewat telepon. Tadinya ia mau mengajak Deni, tetangganya. Deni teman kecil sekaligus teman sekolahnya. Dari kecil mereka selalu bersama. Tapi Deni sedang ada acara keluarga.

Sesampai di kampung sebelah ia segera mencari rumah Rima. Ia tak kesulitan karena Rima dan neneknya cukup di kenal sebagai penjual kue serabi.

Tampak di depan gubuk duduk perempuan tua dengan wajah sedih. Tatapannya kosong. Itu pasti nenek Rima.
"Nek?" aku menyapanya.
"Iya, neng siapa?"
"Saya Tika, yang suka beli kue serabi Rima."
"Rima sudah seminggu belum pulang, nenek sudah mencari kemana-mana tapi belum ketemu." nenek Rima lalu menangis sesenggukan. Badannya yang kurus dan renta berguncang oleh tangisannya.

"Memang Rima kemana, nek?" tiba-tiba Tika dilanda gelisah dan kecemasan. Ia takut terjadi sesuatu dengan Rima.
"Seminggu lalu Rima nenek suruh antar pesanan kue serabi selepas maghrib, tapi sampai sekarang belum pulang." kembali nenek Rima terisak.
"Nenek udah lapor polisi?"
"Belum, neng ... Kata orang-orang Rima di culik wewe gombel karena keluar pas maghrib."
Tika hanya bisa menghela nafas sedih.
"Besok Tika antar ke kantor polisi ya, nek, biar dicari pak Polisi. Sekarang Tika pamit dulu!"

#/#/#/#/#/#

"Rimaaaaa ... !"
Tapi gadis kecil itu terus berlari dan berhenti di atas jalan desa lalu terjun ke bawah yang ada sungainya.
"jangaaan!, tidaaaakkk!"
"Tika, bangun nak! Mimpi buruk lagi?" suara Ibu terdengar sambil mengguncang-guncangkan tubuh Tika.
"Iya, Bu ... Tika mimpi tentang Rima."
"Kamu sih, terlalu memikirkan Rima jadi sampai kebawa mimpi." Ibunya memeluk sambil mengusap peluh di wajah Tika.

Sudah dua malam ini Tika memimpikan Rima dengan mimpi yang sama. Gadis kecil itu melambaikan tangannya lalu berlari dan terjun ke sungai. Firasat Tika mengatakan ada sesuatu di sana. Tapi ia tak berani ke cerita ke siapapun termasuk ibunya. Semua pasti beranggapan itu hanya sebatas mimpi, bunga tidur.

Hanya kepada Deni akhirnya ia menceritakan mimpinya yang selalu sama.

"Maksud kamu, mimpi kamu itu firasat? Sejak kapan kamu punya indera ke enam?" tanya Deni sambil asyik main game.
"Bukan begitu, coba kamu fikir sendiri mana ada orang mimpi yang sama berturut-turuk kalau itu bukan firasat atau pertanda." Tika mencoba meyakinkan Deni.

"Itu karena kamu terlalu terbawa perasaan memikirkan gadis kecil itu! atau pasti karena pengaruh novel horror yang sering kamu baca!"

"Kita ke sungai itu yuk!cari tahu biar gak penasaran dengan mimpiku!" celetuk Tika.

"Diihhh, ogah ... Kamu kan tahu sendiri cerita orang-orang seremnya sungai itu, selain katanya ada penunggunya juga ada buayanya, nggak ahhh!"

"Kamu jadi cowok penakut banget, sih! Aku bilangin Siska kalau cowoknya itu sebenernya cemen!"
"Kok bawa-bawa Siska, sih!"
"Makanya, besok pulang sekolah antar aku ke sungai itu, ya?"

"Minta tolong kok maksa." gerutu Deni sambil menaruh ponselnya karena lowbat.
"Biar gak dianggap maksa aku kasih imbalan deh, aku traktir kamu seminggu di kantin sekolah."

"Cuma seminggu, nggak sebanding resikonya! Kalau aku yang ganteng dimakan buaya gimana?"

"Paling dilepehin lagi ... buayanya neg!" Tika menjawab dengan kesal.
"Bagaimana kalau traktir selama sebulan dan ditambah bonus novel yang kamu beli kemarin, deal?"

Meski dengan perasaan yang masih kesal Tika akhirnya menyetujui syarat Deni.
"Deal ... dasar cowok matre."

#/#/#/#/#

Sungai yang dituju Tika dan Deni memang terlihat seram. Selain curam juga dipenuhi semak belukar yang lebat. Dengan hati-hati mereka sampai juga ditepi sungai. Mereka segera menyusuri tepi sungai yang dipenuhi bebatuan.
Pantas saja tak ada warga yang berani turun ke sungai ini. Selain lokasinya yang sulit dijangkau juga tampak menyeramkan dengan suara gemericik air dengan arus deras menabrak batu-batu besar.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan Tika.
"Deniiiii...!"
Deni segera menghampiri Tika yang sudah jatuh pingsan dan di depan Deni terlihat sesosok tubuh disela bebatuan.

Tika membuka matanya, ia kelihatan masih syok. Di sungai itu sudah ramai warga dan ada beberapa polisi yang mengevakuasi jenasah yang ternyata itu adalah Rima, gadis penjual serabi.

"Tika ... Syukurlah kamu sudah siuman, nak!" kata ibu Tika.
Tika segera memeluk ibunya sambil menangis mengingat sosok yang dilihatnya sebelum pingsan.
"Deni mana, bu?"

"Aku disini, Tika. Pakai acara pingsan segala, bikin aku takut dan panik saja kamu!" jawab Deni dengan mulut dimonyong-monyongin agar kelihatan kalau dia lagi marah.

"Berapa lama aku pingsan, Den?"

"Yaaa ... cukup lama buat manggil para warga kesini."

"Maksud kamu, tadi aku tinggal disini sendiri?" tanya Tika penuh selidik.

"Ya ... Iyalah, masa aku harus gotong kamu keatas nyari pertolongan!" jawab Deni seolah tanpa salah.
"Tapi jangan kuatir, pas aku tinggal kamu sudah aku bacain alfatikhah biar para dedemit tak mendekati kamu." lanjutnya.

"Iya, kalau dedemit yang datang kalau buaya gimana?" tanya Tika dengan nada yang masih kesal.

"Buaya sungai ini gak berani mendekati cewek galak kayak kamu, buaya darat aja takut!"
Tika hanya bisa mendelik. Kalau tak ada ibunya dan para warga sudah ia jitak kepala Deni pakai batu kali.

"Sudah ... sudah, jangan bertengkar! Yang penting kalian sudah selamat, sebentar lagi gelap kita harus segera keatas!" perintah ibu Tika .

Tak lama kemudian berkat kerja keras polisi akhirnya kematian Rima terungkap. Rima ternyata dibunuh lelaki tetangganya sendiri. Menurut pengakuan tersangka yang suka main judi dan mabok, ia tadinya tak bermaksud membunuh Rima.

Ia melihat Rima habis diberi uang pesanan kue serabinya. Karena kalah dalam judi dan pengaruh minuman keras ia mengambil paksa uang Rima dan melakukan pelecehan terhadapnya. Karena takut ketika Rima siuman memberitahu warga, ia bawa tubuh Rima yang masih hidup dan di lempar ke sungai yang ada di bawah jalan desa.

Tika sedang termenung dan menangis ketika Ibunya menghampirinya. Bayangan Rima yang meninggal mengenaskan membekas di pikirannya.

"Sudahlah, nak ... Kita doakan saja semoga Rima tenang dan mendapat tempat terbaik disisiNya."
Tika memeluk Ibunya erat-erat. Ia tak bisa membayangkan jika hidup tanpa ada Ibunya.

"Bu, tadi siang Tika ketemu nenek Rima dan menawarkan untuk tinggal bersama kita, tapi nenek nggak mau dan akan tetap berjualan serabi. Tika lalu berjanji akan menjualkan kue serabinya dan merawat nenek Rima, boleh kan, Bu?"

"Boleh, sayang asal tidak mengganggu sekolahmu."
Tika mengangguk sambil kembali memeluk ibunya.
"Terimakasih, Bu"
"Ibu bangga punya anak sepertimu, Tika."

Malamnya Tika kembali bermimpi Rima. Ia melihat Rima tersenyum manis lebih manis daripada semasa ia hidup. Ia melihat Rima melambai kepada Tika solah berpamitan lalu menghilang .
Tika terjaga, tapi kali ini dengan hati tenang.

"Istirahatlah dengan tenang, Rima. Aku akan menjaga nenekmu" bisik hati Tika.

Gadis kecil penjual serabi kini telah pergi selama-lamanya. Meninggalkan kenangan di hati Tika.

Baca juga: Tips Menulis Cerpen

Tidak ada komentar