Breaking News

Bagaimana Seharusnya Umat Islam Memandang Virus Corona Melanda Dunia


Sedudoshare - VIRUS jenis baru dengan nama Covid-19 yang lebih populer dengan sebutan corona, pertama kali muncul di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, kemudian menyebar dengan kecepatan luar biasa ke seluruh dunia, telah menimbulkan korban sakit dan meninggalkan dunia yang terbilang tidak sedikit.

Akibatnya, timbul kepanikan di banyak kota maupun negara, termasuk Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia. Karena itu, pemerintah menetapkannya sebagai bencana nasional. Dengan demikian, masalah ini tidak lagi ditangani oleh Kementerian Kesehatan, akan tetapi sudah beralih ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Tokoh-tokoh Islam menyikapi-nya beragam, mulai dari yang sangat berhati-hati dengan menempatkannya secara rasional dan proporsional, sampai yang emosional dengan menganggapnya sebagai bagian dari azab Allah disebabkan dosa-dosa yang diperbuat sebagian hambanya. Tokoh-tokoh Islam menyikapinya beragam, mulai dari yang sangat berhati-hati dengan menempatkannya secara rasional dan proporsional, sampai yang emosional dengan menganggapnya sebagai bagian dari azab Allah disebabkan dosa-dosa yang diperbuat sebagian hambanya.

Perspektif agama apapun, tentu akan sangat mempengaruhi para pengikutnya, karena dari satu sisi ia berdimensi beyond atau lebih tinggi dari rasio manusia. Karena itu, seringkali ilmu pengetahuan tidak mampu menjangkau kebenaran agama, walaupun dalam Islam sangat menghormati rasio manusia.

Sementara di sisi lain, agama juga berdimensi pribadi yang memiliki sifat sangat subyektif. Karena itu, berbagai isu yang dikaitkan dengan agama menjadi sangat sensitif dan mudah membakar emosi. Jika lepas kendali bisa sangat distruktif. Merujuk pada berbagai komentar, terutama yang tersebar di media sosial, maka isu masalah virus Corona yang dikaitkan dengan Islam sudah berkembang terlalu jauh.

Sadar atau tidak para penulisnya, sebenarnya telah menumpangi isu ini untuk menumpahkan kemarahannya atas perlakuan sejumlah negara terhadap ummat Islam, khususnya di negara yang penduduk Islam-nya sebagai minoritas. Sementara di tingkat nasional, kekecewaan politik kelompok tertentu ditambah himpitan ekonomi, ikut mempengaruhi suasana kebathinan mereka dalam menyikapi berkembangnya virus Corona di tanah air.

Akibatnya cendrung hanya menyalahkan sejumlah pihak. Kita sebaiknya tidak panik dan tetap tenang menhadapi semua ini, dengan menempatkannya secara rasional dan proporsional. Karena hanya dengan cara ini, kita bisa menyikapinya secara benar, kemudian mampu memilih tindakan yang terbaik.

Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan Islam? Ada dua tulisan yang sudah tersebar yang layak dirujuk. Pertama, tanpa nama penulisnya, yang mengingatkan bagaimana saat Khalifah ke-2 Umar bin Khattab menyikapi wabah Tha'un Amwas (penyakit menular) yang melanda wilayah Syam waktu itu.

Umar dan rombongan yang mendengar berita adanya wabah tersebut sebelum memasuki wilayah itu, menghadapi perdebatan para sahabat: apakah akan meneruskan perjalanan atau kembali ke Madinah.

Sebagai pimpinan Umar memutuskan tidak meneruskan perjalanan dengan alasan: kita memilih takdir yang satu dan meninggalkan takdir yang lain. Artinya ikhtiar manusia menjadi penting dalam masalah ini. Pada bagian lain, dengan merujuk Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh HR Bukhari yang menyatakan:

"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi, jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat ini". Hal ini sejalan dengan metode medis modern yang dikenal dengan istilah "karantina".

Kedua, tulisan Imam Shamsi Ali yang mengingatkan pentingnya mengambil pelajaran atas berbagai peristiwa yang terjadi, sabar menghadapinya, lalu mencari hikmah di balik semua itu, sembari tidak berhenti untuk terus berdoa kepada Allah SWT.

Dengan menggunakan istilah yang dipakai oleh Ketua Muhammadiyah Haedar Nasir, menghadapi masalah virus Corona kali ini sebagaimana kita menghadapi masalah pada umumnya, perlu menggunakan pendekatan rasional dan spiritual dengan berikhtiar dan berdoa.

Dengan demikian umat Islam tidak hanya berhenti dengan mengambil posisi sebagai hakim, akan tetapi sebagai dokter yang menyikapi dan bertindak menolong korban. Dan pada saat bersamaan berusaha mencari jalan keluar yang dapat menyelamatkan umat manusia, tanpa memandang suku, etnis, maupun agamanya. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar