Tiga Almamater Dan Belum Selesai Juga
Kalau seandainya diperbolehkan memilih hidup saat kapan inginnya, saya kayaknya bakal milih menjadi anak-anak saja. Bayangkan, sehari-hari hanya sibuk urusan main, ngerjain PR sekolah, bantu-bantu kerjaan rumah, dan ngobrolin film kartun atau sinetron laga.
Jauh berbeda dengan menjadi dewasa seperti sekarang. Terlalu banyak tanggung jawab yang harus dipikul sedangkan sadar bahu tak seberapa kuat dan tak seberapa lebar.
Hidup saya berat. Bolehkan saya mengeluh demikian. Saya manusia biasa juga, yang punya ciri manusia pada umumnya, lebih pandai mengeluh, padahal seharusnya lebih banyak bersyukur. Ada banyak ketidakberuntungan yang saya alami. Sebentar, kasih saya penjelasan singkat, ini bukan lagi cara saya kufur nikmat, justru dengan mengeluh, semoga bisa bertambah bersyukur.
Ada beberapa masa yang saya sesali. Keputusan-keputusan yang saya pilih bukan keputusan yang terbaik. Malah menjadi bumerang yang menyerang saya hingga kalah. Kalau mengingat ini semua, rasanya badan mendadak loyo melorot ke tanah.
Tulisan ini akan berseri. Kalau kalian tidak ingin mendapatkan aura busuk dari sambatan saya, silakan berhenti membacanya. Tapi saya bakal keukeuh menuliskan karena ini terapi yang saya bisa lakukan untuk mengeluarkan racun di tubuh saya.
Kuliah saya harus ditempuh di tiga kampus dan belum juga rampung, entah kapan, semoga segera.
Dua kampus jadi kegagalan. Satu kampus sedang saya jalani. Kampus pertama gagal karena saya tidak cukup punya biaya. Saat itu restu orang tua bisa dibilang hanya separuh. Separuhnya lagi kekecewaan karena anaknya tidak jadi memegang warung sembako di Muara Baru, Jakarta Utara. Seberapa butuh saya biaya untuk semesteran, orang tua tetap menutup tangan.
Kampus kedua juga gagal karena saya merasa kalah oleh pikiran picik. Waktu itu ada yang nyeletuk, "Kamu ngapain kuliah lagi sekarang. Yang lain, sepantaran kamu, sudah nyampe dimana, kamu masih dimana. Sudah terlambat, Din!" Dan saya memilih berhenti kuliah, lalu menjalani hari-hari seperti semula. Lagian kuliah di kampus kedua ini dilaksanakan Sabtu dan Minggu, jadi sepekan itu saya harus tinggal di kota mulu. Waktu balik ke rumah orang tua rada susah menyesuaikan.
Kampus ketiga ini, yang sedang saya jalani, juga buah desakan manajer di tempat kerja. Kata beliau, kesempatan bisa datang kapan saja dan kesempatan bisa jadi keberuntungan jika kita sudah siap menerimanya. Benar saja, kesempatan menjadi manajer di tempat kerja lain terlewat begitu saja karena saya tidak memegang tiket masuknya atau ijazah. Dua kali malah. Ampun!
Doakan saja saya yang baru saja selesai UAS semester lima, bisa rampung wisuda tahun depan. Biar ngejar goal hidup lainnya makin lancar dan cepat.
Sekian sambat saya kesempatan ini, kalian boleh sambat juga pengalaman zaman kuliah dulu di kolom komentar. Anggap aja silaturahmi, biar berkah...
Jauh berbeda dengan menjadi dewasa seperti sekarang. Terlalu banyak tanggung jawab yang harus dipikul sedangkan sadar bahu tak seberapa kuat dan tak seberapa lebar.
Hidup saya berat. Bolehkan saya mengeluh demikian. Saya manusia biasa juga, yang punya ciri manusia pada umumnya, lebih pandai mengeluh, padahal seharusnya lebih banyak bersyukur. Ada banyak ketidakberuntungan yang saya alami. Sebentar, kasih saya penjelasan singkat, ini bukan lagi cara saya kufur nikmat, justru dengan mengeluh, semoga bisa bertambah bersyukur.
Ada beberapa masa yang saya sesali. Keputusan-keputusan yang saya pilih bukan keputusan yang terbaik. Malah menjadi bumerang yang menyerang saya hingga kalah. Kalau mengingat ini semua, rasanya badan mendadak loyo melorot ke tanah.
Tulisan ini akan berseri. Kalau kalian tidak ingin mendapatkan aura busuk dari sambatan saya, silakan berhenti membacanya. Tapi saya bakal keukeuh menuliskan karena ini terapi yang saya bisa lakukan untuk mengeluarkan racun di tubuh saya.
*****
Kuliah saya harus ditempuh di tiga kampus dan belum juga rampung, entah kapan, semoga segera.
Dua kampus jadi kegagalan. Satu kampus sedang saya jalani. Kampus pertama gagal karena saya tidak cukup punya biaya. Saat itu restu orang tua bisa dibilang hanya separuh. Separuhnya lagi kekecewaan karena anaknya tidak jadi memegang warung sembako di Muara Baru, Jakarta Utara. Seberapa butuh saya biaya untuk semesteran, orang tua tetap menutup tangan.
Kampus kedua juga gagal karena saya merasa kalah oleh pikiran picik. Waktu itu ada yang nyeletuk, "Kamu ngapain kuliah lagi sekarang. Yang lain, sepantaran kamu, sudah nyampe dimana, kamu masih dimana. Sudah terlambat, Din!" Dan saya memilih berhenti kuliah, lalu menjalani hari-hari seperti semula. Lagian kuliah di kampus kedua ini dilaksanakan Sabtu dan Minggu, jadi sepekan itu saya harus tinggal di kota mulu. Waktu balik ke rumah orang tua rada susah menyesuaikan.
Kampus ketiga ini, yang sedang saya jalani, juga buah desakan manajer di tempat kerja. Kata beliau, kesempatan bisa datang kapan saja dan kesempatan bisa jadi keberuntungan jika kita sudah siap menerimanya. Benar saja, kesempatan menjadi manajer di tempat kerja lain terlewat begitu saja karena saya tidak memegang tiket masuknya atau ijazah. Dua kali malah. Ampun!
Doakan saja saya yang baru saja selesai UAS semester lima, bisa rampung wisuda tahun depan. Biar ngejar goal hidup lainnya makin lancar dan cepat.
*****
Sekian sambat saya kesempatan ini, kalian boleh sambat juga pengalaman zaman kuliah dulu di kolom komentar. Anggap aja silaturahmi, biar berkah...
Tidak ada komentar