Breaking News

Terima Kasih Tidak Akan Pernah Cukup Untuk Dua Jantung

Saya adalah tipe orang yang paling pinter memendam masalah sendiri. Lebih banyak bertarung sendirian. Sifat ini kayaknya paketan karakter saya yang condong introvert, rendah diri, bahkan pemalu. Ah, mungkin tepatnya saya adalah pecundang.

Kejelekkan saya yang kerap memendam masalah sendirian, justru melahirkan masalah besar setelah beberapa lama. Saat masalah masih kecil, saya selalu berdalih bakal mampu menyelesaikan dan pasti selesai. Namun kenyataannya, saya terbebani makin banyak dan akhirnya dikalahkan masalah tadi.

Tanggal 15 November 2019, tepatnya hari Jumat, saya mengalami masalah besar. Maaf, disini tidak akan saya umbar masalah yang sebenarnya, sebab itu aib saya dan aib keluarga. Saya hanya ingin membagikan hikmahnya saja.

Masalah besar itu hampir membuat saya menangis seharian. Sehabis Subuh, saya banyak merenung dan air mata mengalir deras nggak bisa ditahan. Ibarat sungai yang diganjar banjir bandang dari hulu. Di tempat kerja pun emosi saya tidak bisa dikendalikan. Pokoknya hari itu saya dalam kondisi sangat down dan tidak bisa berbagi cerita ke siapa pun.

Meski sedih bertumpuk-tumpuk, saya tetap memikirkan jalan keluar untuk masalah saya. Sayangnya, semua jalan sudah buntu. Dan waktu itu yang terpikirkan oleh saya hanya satu, saya harus pulang ke rumah dan menceritakan semuanya kepada orang tua.

Sebelum berangkat kerja, saya membulatkan tekad untuk melakukan pengakuan dosa ini. Harus saya lakukan dan tidak ada pertimbangan lagi. Keluarga harus tahu keadaan saya yang sebenarnya.

Sehabis Maghrib, saya dijemput seorang kawan dan diantar pulang ke rumah kakak perempuan saya. Sebelumnya saya sudah menelepon kakak saya itu agar Ibu dan Bapak dijemput ke rumahnya. Biar ketika saya datang, mereka sudah siap menerima keadaan anaknya ini yang sedang ditimpa masalah.

Benar saja, begitu sampai gerbang rumah, saya mendapati Ibu dan Bapak sudah duduk di ruang tamu. Saya masuk ke rumah dan langsung bersimpuh menangis di kaki mereka.


Tidak usah saya jelaskan secara rinci ya bagaimana saya melakukan pengakuan dosa kepada Ibu dan Bapak sambil menangis sejadi-jadinya. Pokoknya malam itu semua keluhan hidup saya mengalir deras dari mulut.

Yang membuat saya lebih terharu, Ibu dan Bapak tidak membenci saya yang datang membawa masalah. Mereka tidak memaki atau marah oleh kegagalan yang saya persembahkan. Justru mereka merentangkan tangan lalu memeluk saya sambil mengelus punggung.

"Sabar. Kamu harus banyak bersabar. Lain kali kalau ada apa-apa cerita ke keluarga. Masalah yang sekarang nanti dipikirkan Bapak dan Ibu. Pasti ketemu jalan keluarnya."

Sampai saya menuliskan tulisan ini, masalah itu sudah teratasi. Bayangkan saja, saya pernah berjuang berbulan-bulan untuk menyelesaikan masalah ini dan tidak menemukan titik terang. Begitu saya menceritakan kepada keluarga besar, hitungan dua minggu masalah tadi teratasi. Saya sangat-sangat-sangat berterima kasih dan bersyukur masih mempunyai keluarga yang menerima saya beserta kegagalan yang saya punyai. Setelah masalah ini selesai sampai ke akarnya, fokus saya adalah memberikan hal terbaik yang bisa saya berikan untuk keluarga.

Lalu hikmah yang bisa saya bagikan kepada kalian adalah tempat terbaik pulang adalah keluarga. Mereka akan menerima kita apa adanya, apa kondisi kita, dan siapa kita. Tidak membenci, tidak memaki, tidak menyesal, tidak kecewa, tidak juga menambah luka. 

Saya sangat menghaturkan terima kasih kepada Ibu dan Bapak yang sudah sedia berlapang dada menerima anaknya kembali, meski sekarang hanya mampu menyodorkan kegagalan dan masalah. Dari malam itu, saya bertambah keinginan membahagiakan kalian sampai menurut kalian cukup, dan saya diperbolehkan memilih cerita hidup lain sebagai kelanjutan cerita hidup saya.

Demikian ringkas cerita yang saya bagikan, semoga menambahkan cinta kita kepada keluarga. Terakhir, sampaikan salam saya untuk keluarga kalian.

Tidak ada komentar