Breaking News

"Empu" Narto, Perajin Pande Besi Wajib Prihatin dan Berpuasa agar "Bertuah"

Tradisi memang unik. Namun, tradisi dapat bertahan karena terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Dari tradisi pula mereka terus berkarya, mengikuti jejak nenek moyang meski era sudah berbeda. Seperti usaha pande besi yang hingga kini masih ada.

SUARA besi ditempa memekakkan telinga. Ketika sinar matahari mulai perlahan tertutup mendung, sesekali, suara itu hilang. Berganti dengan bau arang yang terbakar hingga asapnya membumbung ke udara dari sebuah bangunan kayu di Kampung Perbalan RT 3 RW 8 Kelurahan Gunungpati Kecamatan Gunungpati.
Seorang lelaki paruh baya bercelana jeans, kaos oblong nampak membolak-balik besi yang mengaga. Handphone model qwerty sesekali ia keluarkan dari sakunya saat besi yang dibakar belum matang atau menganga untuk ditempa.
Lelaki itu bernama Narto Susilo (32). Warga Dusun Kaligetas RT 5 RW 4 Kelurahan Jatibarang Kecamatan Mijen Kota Semarang. Ia menekuni pekerjaannya itu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sepulang sekolah, ia tidak seperti anak-anak lainnya, asyik bermain.
"Ketika teman-teman seusia saya asyik bermain dengan mobil-mobilan, sepeda, saya malah bermain api bersama bapak,'' katanya sambil tertawa.
Menjadi pande besi menurutnya tidaklah mudah. Selain bakat dan keturunan, seorang pande besi memiliki kewajiban untuk prihatin dengan berpuasa dan selalu berdoa sebelum membuat senjata itu "bertuah".
Narto pun Awalnya hanya sekedar melihat ayahnya, Juwono (55) yang juga sebagai pande besi. Kini Narto dewasa, telah mahir membuat sabit, parang, linggis, pacul, sekop dan alat pertanian lainnya.
Ayah Narto merupakan generasi kedua perajin besi tempa setelah sebelumnya dilakukan oleh kakeknya, Karimin yang dikenal sebagai pande besi terbaik di Kota Semarang pada jaman Jepang.
Ayahnya sendiri kini masih menjadi perajin dan membuka usaha di rumah. Sementara Narto, membuka usaha besi tempa ini di Gunungpati. Menempati lahan seluas empat kali tiga meter dengan biaya sewa Rp 10 ribu per hari ini, dalam sehari ia mampu memproduksi 10 hingga 15 buah sabit dan parang.
Omsetnya pun perbulan mencapai Rp 2 juta. Untuk membuat kerajinannya ini, ia menggunakan bahan baku bekas per mobil dengan berat tujuh kilogram yang didapat dari tukang loak.
Proses pembuatannyapun hanya dibantu seorang teman. Memanasi besi di tengah bara arang sampai merah membara, kemudian ditempa dan mempertajam dengan cara dikikir.
"Membuat senjata itu kuncinya hati-hati, disiplin, temen dan telaten," ujar bapak satu anak ini.
Karena perajin pande era saat ini mulai berkurang, ia berharap anak laki-lakinya kelak akan menjadi pande. Dengan harapan, perajin pande tidak hilang begitu saja, karena masyarakat, terutama peternak dan petani masih membutuhkan keberadaannya.
Membuat senjata yang mampu memotong besi dengan sekali tebasan menjadi keinginan besar dirinya yang sampai hari ini belum ditemukan. Karena memotong besi dengan sebilah gergaji menurutnya memakan waktu yang lama dan tidak praktis.
Kerajinan besi tempa yang ia produksi selama ini konsumennya bukan hanya warga Gunungpati, namun dari daerah luar Kota Semarang. Seperti Temanggung, Boyolali, Demak, Jepara, bahkan hingga Sumatera dan Kalimantan. Untuk sebilah sabit ia jual Rp 30 hingga Rp 40 ribu perbuahnya. Ia pun tidak begitu repot menjual produknya ke pasar. Karena, pembeli telah datang sendiri.
''Kualitas dan garapannya halus, seperti garapan bapaknya," ujar Demar (54), warga Kecamatan Jumo Kabupaten Temanggung, pelanggan setia Empu Narto saat ditanya tentang hasil besi tempanya. (KS)

Tidak ada komentar