Jalur Trans Semarang Mirip Jalur Trem Masa Lalu
PADA akhir abad ke-19, Kota Semarang berkembang menjadi kota berbasis perdagangan dan jasa yang terkemuka di Hindia Belanda. Masyarakat pun berbondong-bondong datang ke Semarang untuk mencari peruntungan.
Arus urbanisasi yang besar, membuat Semarang semakin padat penduduknya. Kebutuhan transportasi terpadu pun mutlak dibutuhkan untuk melayani masyarakatnya. Dan, kebutuhan transportasi pun dijawab oleh NV Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij atau disingkat SJS pada 1881 yang dipimpin Mr HMA Baron van Der Goes van Dirxland.
Baron mendapatkan ijin konsesi pengembangan jaringan kereta api dari Pemerintah Kolonial Belanda melalui Besluit van den Gouverneur No 5 tertanggal 18 Maret 1881. Beberapa waktu kemudian, jalur trem uap dibangun dan secara resmi beroperasi pada 1 Desember 1881 melintasi jalur Jurnatan hingga Jomblang sepanjang 4,4 kilometer.
Pada 12 Maret 1883, kembali dibuka jalur trem dari Jurnatan ke Pasar Bulu dan dari Jurnatan ke Stasiun NIS Semarang. Kemudian disusul pada 2 Juli 1883, Jurnatan ke Pelabuhan dan pada 4 November 1899, dari Pasar Bulu ke Banjir Kanal Barat.
Untuk mengenang kembali jalur trem yang pernah jaya di Kota Semarang, Komunitas Lopen bekerjasama dengan BRT Trans Semarang menggelar Telusur Jalur Trem. Setelah berkumpul di depan Mc Donald Java Mall, para peserta langsung menuju halte BRT. Kok ke halte BRT?
''Karena, selidik punya selidik, jalur-jalur BRT Trans Semarang ini ada kemiripan jalur jaringan trem masa lalu. Bahkan letak halte BRT Trans Semarang yang berada di Jomblang ini letaknya persis di tapak dimana dahulu, Stasiun Djomblang, stasiun ujung jaringan trem yang kearah selatan berada,'' tutur Koordinator Komunitas Lopen, Muhammad Yogi Fajri.
Peserta pun diajak menumpang BRT Trans Semarang ke halte Bubakan dan mengamati tapak bekas stasiun sentral Jurnatan, stasiun pusat jaringan trem di Kota Semarang. Walaupun stasiun telah lenyap, penanda bahwa di tapak ini pernah berdiri sebuah stasiun masih dapat dilihat, yakni sebuah tiang telegram yang merupakan pelengkap sarana komunikasi antar stasiun.
Setelah dari stasiun Jurnatan peserta melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki ke bekas kantor Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) operator jaringan trem di Kota Semarang yang terletak di Pengapon.
Para peserta mengamati bekas kantor dan depo yang telah tenggelam dilumat ganasnya fenomena penurunan tanah di kawasan pesisir. Setelah berfoto bersama, kegiatan dilanjutkan menuju halte BRT Trans Semarang di Tawang, untuk menyusuri jalur trem yang kearah barat via Jalan Pemuda. Penelusuran pun berhenti di Pasar Bulu, di lokasi dimana dahulu terdapat stasiun pemberhentian trem yakni, Stasiun Bulu yang dahulu terletak di sisi timur Pasar Bulu.
''Sebenarnya stasiun ujung jaringan trem yang kearah barat berada di pinggir Banjir Kanal Barat, tepatnya di dekat Pasar Kokrosono,'' tandas Yogi sapaan akrab Muhammad Yogi Fajri, kemarin.
Karena sudah siang, peserta pun diajak ke Restoran Semarang milik Jongkie Tio yang juga penulis buku “Kota Semarang dalam Kenangan” dan “Semarang City: A Glance into the Past”.
Selain berbagi cerita, para peserta berkesempatan menyantap Lontong Cap Go Meh. Menu akulturasi Tionghoa-Jawa yang mengandung arti, Cap (10) go (5) meh (malam), yang merupakan rangkaian terakhir dari perayaan Imlek. (MS)
Arus urbanisasi yang besar, membuat Semarang semakin padat penduduknya. Kebutuhan transportasi terpadu pun mutlak dibutuhkan untuk melayani masyarakatnya. Dan, kebutuhan transportasi pun dijawab oleh NV Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij atau disingkat SJS pada 1881 yang dipimpin Mr HMA Baron van Der Goes van Dirxland.
Baron mendapatkan ijin konsesi pengembangan jaringan kereta api dari Pemerintah Kolonial Belanda melalui Besluit van den Gouverneur No 5 tertanggal 18 Maret 1881. Beberapa waktu kemudian, jalur trem uap dibangun dan secara resmi beroperasi pada 1 Desember 1881 melintasi jalur Jurnatan hingga Jomblang sepanjang 4,4 kilometer.
Pada 12 Maret 1883, kembali dibuka jalur trem dari Jurnatan ke Pasar Bulu dan dari Jurnatan ke Stasiun NIS Semarang. Kemudian disusul pada 2 Juli 1883, Jurnatan ke Pelabuhan dan pada 4 November 1899, dari Pasar Bulu ke Banjir Kanal Barat.
Untuk mengenang kembali jalur trem yang pernah jaya di Kota Semarang, Komunitas Lopen bekerjasama dengan BRT Trans Semarang menggelar Telusur Jalur Trem. Setelah berkumpul di depan Mc Donald Java Mall, para peserta langsung menuju halte BRT. Kok ke halte BRT?
''Karena, selidik punya selidik, jalur-jalur BRT Trans Semarang ini ada kemiripan jalur jaringan trem masa lalu. Bahkan letak halte BRT Trans Semarang yang berada di Jomblang ini letaknya persis di tapak dimana dahulu, Stasiun Djomblang, stasiun ujung jaringan trem yang kearah selatan berada,'' tutur Koordinator Komunitas Lopen, Muhammad Yogi Fajri.
Peserta pun diajak menumpang BRT Trans Semarang ke halte Bubakan dan mengamati tapak bekas stasiun sentral Jurnatan, stasiun pusat jaringan trem di Kota Semarang. Walaupun stasiun telah lenyap, penanda bahwa di tapak ini pernah berdiri sebuah stasiun masih dapat dilihat, yakni sebuah tiang telegram yang merupakan pelengkap sarana komunikasi antar stasiun.
Setelah dari stasiun Jurnatan peserta melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki ke bekas kantor Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) operator jaringan trem di Kota Semarang yang terletak di Pengapon.
Para peserta mengamati bekas kantor dan depo yang telah tenggelam dilumat ganasnya fenomena penurunan tanah di kawasan pesisir. Setelah berfoto bersama, kegiatan dilanjutkan menuju halte BRT Trans Semarang di Tawang, untuk menyusuri jalur trem yang kearah barat via Jalan Pemuda. Penelusuran pun berhenti di Pasar Bulu, di lokasi dimana dahulu terdapat stasiun pemberhentian trem yakni, Stasiun Bulu yang dahulu terletak di sisi timur Pasar Bulu.
''Sebenarnya stasiun ujung jaringan trem yang kearah barat berada di pinggir Banjir Kanal Barat, tepatnya di dekat Pasar Kokrosono,'' tandas Yogi sapaan akrab Muhammad Yogi Fajri, kemarin.
Karena sudah siang, peserta pun diajak ke Restoran Semarang milik Jongkie Tio yang juga penulis buku “Kota Semarang dalam Kenangan” dan “Semarang City: A Glance into the Past”.
Selain berbagi cerita, para peserta berkesempatan menyantap Lontong Cap Go Meh. Menu akulturasi Tionghoa-Jawa yang mengandung arti, Cap (10) go (5) meh (malam), yang merupakan rangkaian terakhir dari perayaan Imlek. (MS)
Tidak ada komentar