Penjual Getuk Lindri Keliling
Dorong Gerobak 30 Kilometer Setiap Hari
Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga
Sungguh berat aku rasa kehilangan dia
Sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia
Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga...
LAGU berjudul Kehilangan yang dinyanyikan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama mengalun keras dari speaker berbentuk corong yang diletakkan diatas gerobak dorong berwarna biru putih yang didorong oleh lelaki paruh baya. Sandal jepit menjadi alas kaki lelaki yang terus mendorong gerobaknya menyusuri Jalan Raya Ungaran-Sekaran. Alunan musik dangdut terus mengalun. Warga yang hendak berangkat kerja pun beberapa terlihat ikut menganggukkan kepala sambil bergoyang saat gerobak itu melintas di depan rumahnya.
''Mas getuk, minta getuknya,'' suara perempuan berjilbab dari teras rumah berjalan pelan menghampiri lelaki yang mendorong gerobaknya dengan pelan sambil menghisap sebatang rokok.
Lagu dangdut pun berganti dengan Lari Pagi yang tetap dinyanyikan oleh Rhoma Irama. Lelaki bernama Tukiman itu pun tidak menurunkan volume amplifier yang ada di dalam bok tertutup.
Dengan sigap, tangannya mengambil beberapa potong kue berbahan dasar singkong yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula pasir dari gerobak model akuarium. Warna-warni panganan yang dikenal dengan nama Getuk Lindri itu pun terlihat jelas. Ada coklat, merah, hijau dan campuran coklat dan hijau.
''Silahkan Bu,'' jawab lelaki kelahiran Karanggede, Boyolali 13 April 1987 itu sambil memberikan bungkusan getuk kepada perempuan bernama Yati (40) warga Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Gunungpati.
''Saya hampir setiap hari membeli getuk lindri. Penjualnya sudah jarang sekali dibandingkan dulu. Apalagi, makanan ini sudah saya kenal sejak masih SD. Selain gurih, kenangan masa kecil selalu terbawa,'' ungkap ibu dua anak itu sambil tersenyum.
Memang tidak mudah untuk menemukan penjual getuk lindri yang khas dengan alunan musik dangdut di Kota Semarang. Karena, selain jumlahnya tak lagi banyak, pedagangnya pun tidak selalu menjajakan dagangannya setiap hari di jalur yang sama. ''Saya kadang menunggu sampai seminggu untuk bisa membeli lagi, karena memang tidak setiap hari para penjualnya keliling lewat sini,'' imbuh Yati.
Usai melayani pembeli, Tukiman pun menceritakan kisahnya berjualan getuk lindri selama tiga tahun terakhir. Berjalan sambil mendorong gerobak sejauh 30 kilometer lebih ia lakukan setiap hari dari kontrakannya di Dukuh Karanggeneng, Kelurahan Sumurejo, Kecamatan Gunungpati.
''Biasanya, saya berangkat dari kontrakan pukul 06.30. Rutenya tidak mesti melalui Sekaran. Kadang langsung menyusuri Jalan Raya Karanggeneng-Gunungpati, kadang ke Jalan Pramuka kemudian Pudak Payung dan Banyumanik,'' tutur penggemar Slank itu.
Proses pembuatan getuk tidak ia lakukan sendiri, tetapi bersama delapan saudaranya yang tinggal di kontrakan itu. Dipimpin oleh pamannya, Slamet (50) ia dan yang lainnya sebelum tidur harus mengupas singkong terlebih dahulu. Pada pukul 01.00 merebus ketela, dan tidur lagi. Pukul 03.00 kembali melepas selimut dan beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan serat yang masih melekat di tengah buah singkong.
''Biasanya sampai Subuh. Setelah shalat Subuh, singkong dihaluskan dan diolah menjadi getuk. Untuk pewarnaan, kita memakai pewarna makanan yang aman. Tidak ada bahan pengawet juga, bisa dilihat dan dirasakan, ketika sore, sudah tidak layak dimakan,'' jelasnya.
Proses pembuatan pun biasanya selesai pukul 06.00. Tukiman dan teman-temannya pun mandi dan pukul 06.30 berangkat berkeliling dari kampung ke kampung untuk menjajakan getuk lindri. Setiap gerobak diisi 750 potong, dengan harga Rp 1000 per tiga potongnya.
''Kalau dari Karanggeneng sampai Sekarang itu 15 kilometer, berari pulang pergi 30 kilometer. Biasanya getuk habis setelah Zuhur, saat pulang pun biasanya saya lebih santai, karena memang kaki sudah pegal,'' ungkapnya, kemarin.
Slamet juga menceritakan, ciri khas lagu dangdut untuk menjajakan getuk lindri sudah dilakukan olehnya sejak 30 tahun lalu dengan tape recorder dan amplifier sederhana. Namun, seiring perkembangan jaman, karena tidak mau kerepotan dengan harus membolak-balik kaset, para pedagang kini menggunakan handphone untuk memutar lagu. Ada pula yang mengganti tape recorder-nya dengan VCD player.
''Ketika pulang dari jualan, accu yang digunakan sebagai sumberdaya listrik disetrum dulu tiga jam. HP yang digunakan pun tidak perlu mewah, yang penting MMC-nya besar dan tidak mudah error,'' ujarnya. *
Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga
Sungguh berat aku rasa kehilangan dia
Sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia
Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga...
LAGU berjudul Kehilangan yang dinyanyikan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama mengalun keras dari speaker berbentuk corong yang diletakkan diatas gerobak dorong berwarna biru putih yang didorong oleh lelaki paruh baya. Sandal jepit menjadi alas kaki lelaki yang terus mendorong gerobaknya menyusuri Jalan Raya Ungaran-Sekaran. Alunan musik dangdut terus mengalun. Warga yang hendak berangkat kerja pun beberapa terlihat ikut menganggukkan kepala sambil bergoyang saat gerobak itu melintas di depan rumahnya.
''Mas getuk, minta getuknya,'' suara perempuan berjilbab dari teras rumah berjalan pelan menghampiri lelaki yang mendorong gerobaknya dengan pelan sambil menghisap sebatang rokok.
Lagu dangdut pun berganti dengan Lari Pagi yang tetap dinyanyikan oleh Rhoma Irama. Lelaki bernama Tukiman itu pun tidak menurunkan volume amplifier yang ada di dalam bok tertutup.
Dengan sigap, tangannya mengambil beberapa potong kue berbahan dasar singkong yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula pasir dari gerobak model akuarium. Warna-warni panganan yang dikenal dengan nama Getuk Lindri itu pun terlihat jelas. Ada coklat, merah, hijau dan campuran coklat dan hijau.
''Silahkan Bu,'' jawab lelaki kelahiran Karanggede, Boyolali 13 April 1987 itu sambil memberikan bungkusan getuk kepada perempuan bernama Yati (40) warga Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Gunungpati.
''Saya hampir setiap hari membeli getuk lindri. Penjualnya sudah jarang sekali dibandingkan dulu. Apalagi, makanan ini sudah saya kenal sejak masih SD. Selain gurih, kenangan masa kecil selalu terbawa,'' ungkap ibu dua anak itu sambil tersenyum.
Memang tidak mudah untuk menemukan penjual getuk lindri yang khas dengan alunan musik dangdut di Kota Semarang. Karena, selain jumlahnya tak lagi banyak, pedagangnya pun tidak selalu menjajakan dagangannya setiap hari di jalur yang sama. ''Saya kadang menunggu sampai seminggu untuk bisa membeli lagi, karena memang tidak setiap hari para penjualnya keliling lewat sini,'' imbuh Yati.
Usai melayani pembeli, Tukiman pun menceritakan kisahnya berjualan getuk lindri selama tiga tahun terakhir. Berjalan sambil mendorong gerobak sejauh 30 kilometer lebih ia lakukan setiap hari dari kontrakannya di Dukuh Karanggeneng, Kelurahan Sumurejo, Kecamatan Gunungpati.
''Biasanya, saya berangkat dari kontrakan pukul 06.30. Rutenya tidak mesti melalui Sekaran. Kadang langsung menyusuri Jalan Raya Karanggeneng-Gunungpati, kadang ke Jalan Pramuka kemudian Pudak Payung dan Banyumanik,'' tutur penggemar Slank itu.
Proses pembuatan getuk tidak ia lakukan sendiri, tetapi bersama delapan saudaranya yang tinggal di kontrakan itu. Dipimpin oleh pamannya, Slamet (50) ia dan yang lainnya sebelum tidur harus mengupas singkong terlebih dahulu. Pada pukul 01.00 merebus ketela, dan tidur lagi. Pukul 03.00 kembali melepas selimut dan beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan serat yang masih melekat di tengah buah singkong.
''Biasanya sampai Subuh. Setelah shalat Subuh, singkong dihaluskan dan diolah menjadi getuk. Untuk pewarnaan, kita memakai pewarna makanan yang aman. Tidak ada bahan pengawet juga, bisa dilihat dan dirasakan, ketika sore, sudah tidak layak dimakan,'' jelasnya.
Proses pembuatan pun biasanya selesai pukul 06.00. Tukiman dan teman-temannya pun mandi dan pukul 06.30 berangkat berkeliling dari kampung ke kampung untuk menjajakan getuk lindri. Setiap gerobak diisi 750 potong, dengan harga Rp 1000 per tiga potongnya.
''Kalau dari Karanggeneng sampai Sekarang itu 15 kilometer, berari pulang pergi 30 kilometer. Biasanya getuk habis setelah Zuhur, saat pulang pun biasanya saya lebih santai, karena memang kaki sudah pegal,'' ungkapnya, kemarin.
Slamet juga menceritakan, ciri khas lagu dangdut untuk menjajakan getuk lindri sudah dilakukan olehnya sejak 30 tahun lalu dengan tape recorder dan amplifier sederhana. Namun, seiring perkembangan jaman, karena tidak mau kerepotan dengan harus membolak-balik kaset, para pedagang kini menggunakan handphone untuk memutar lagu. Ada pula yang mengganti tape recorder-nya dengan VCD player.
''Ketika pulang dari jualan, accu yang digunakan sebagai sumberdaya listrik disetrum dulu tiga jam. HP yang digunakan pun tidak perlu mewah, yang penting MMC-nya besar dan tidak mudah error,'' ujarnya. *
Tidak ada komentar