Breaking News

Rara Mendut, Cinta dan Ritual Seks di Makam Sleman


Sedudoshare - Sleman - Kabar tentang ritual seks di makam Rara Mendut dan Pronocitro sudah lama tak terdengar. Makam keduanya pun tak lagi terawat. Hanya cungkup atau rumah pelindung makam dan nisan di dalamnya yang masih utuh.

Rindang pepohonan di kanan dan kiri jalan setapak itu menghalangi cahaya matahari. Meski siang, suasananya cukup temaram dan sunyi. Tak seorang pun terlihat di sekitar tempat itu, Gandu, Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Senin, 13 Januari 2020.

Rumput liar dan ilalang juga tumbuh subur di situ. Denging suara nyamuk diiringi binatang semacam kumbang pohon, terdengar hampir sepanjang jalan setapak.

Di depan, satu unit rumah berukuran sekitar 5 x 3 meter terlihat. Letaknya sekitar 60 meter dari jalan aspal. Beberapa gentengnya sudah pecah, temboknya yang berwarna putih telah memudar. Coretan di dinding menambah kesan tidak terawat pada cungkup itu.

Suasana di sekitar cungkup makam sedikit lebih terang daripada di jalan setapak tadi. Dari situ, hamparan hijau sawah milik petani terlihat jelas, seperti permadani besar yang dibentangkan. Sinar mentari pun lebih leluasa menyinari tempat tersebut. Tapi, kesan mistis di situ jauh lebih terasa.

Reruntuhan bekas pagar cungkup itu masih ada, menyisakan bongkahan-bongkahan berwarna merah marun dari batu bata yang terbelah. Sebagian berwarna hijau karena diselimuti lumut.

Pintu cungkup yang menghubungkan halaman luar dan makam Rara Mendut, terletak di sebelah kanan. Jika dilihat dari luar, ruangan di dalam tampak gelap dan hitam, membuat bulu kuduk semakin merinding.

Katanya kalau ke sini harus berdua sama selingkuhan, bukan sama istri atau suami, itu menurut cerita orang.

Saat memasuki ruangan, terlihat nisan yang dikelilingi semacam kelambu dari kain berwarna putih. Ada dua nisan jadi satu di situ, yang diyakini merupakan makam Rara Mendut dan kekasihnya, Pronocitro.

Di dekat nisan terdapat semacam nampan. Sepertinya itu tempat meletakkan sesaji. Ada dua kuncup bunga berwarna putih yang sudah tidak begitu segar tapi tidak juga kering. Di dekatnya ada beberapa sesaji lain, termasuk beberapa batang rokok.

Hawa di dalam cungkup terasa dingin dan aneh. Saat masuk, tidak tercium aroma apa pun, tapi beberapa menit kemudian, tercium aroma wangi entah dari mana. Mungkin dari bunga yang setengah kering itu.


Cinta Abadi Rara Mendut-Pronocitro Beberapa tahun lalu, lokasi makam Rara Mendut tersebut sering didatangi peziarah, baik yang sekadar ingin melihat makam itu maupun yang berniat mencari pesugihan atau penglaris untuk dagangan.

Seorang warga setempat, Yati, 67 tahun, membenarkan hal itu. Kata Yati, dulu banyak rombongan peziarah yang datang. Tak jarang mereka datang dari luar Yogyakarta dengan menggunakan bus wisata. 

Seingat Yati, rombongan peziarah terakhir yang datang ke tempat itu, adalah pada tahun 1995. Waktu itu dia sempat kaget melihat banyaknya orang yang datang. Ternyata mereka ingin melihat makam tersebut.

"Sekitar rahun 1995 itu kan ada peziarah satu bus, saya kaget ada apa, katanya ke makam Rara Mendut, terus para peziarah itu sering bawa oleh-oleh. Kalau ke sini itu bawa makanan, terus dibagikan ke warga, termasuk saya," kenangnya. 

Tapi, setelah itu tidak banyak rombongan peziarah yang datang. Kalaupun ada peziarah, biasanya mereka tidak datang serombongan, tetapi hanya satu atau dua orang. "Paling ya cuma ingin lihat tapi ternyata enggak ada, kemarin ada dari Purwokerto, kelihatannya mahasiswa, tapi ya sudah sampai sana kembali lagi."

Yati menceritakan, sejak beberapa tahun lalu pagar dan teras makam itu rusak. Awalnya ambruk akibat gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 2006. Setelah itu, makam itu mulai tidak terurus.

"Pagarnya sudah rusak, tinggal cungkup sama kijing (nisan). Kijingnya ada dua masih utuh. Itu dua makam, kan ceritanya Rara Mendut sama Pronocitro. Pronocitro itu kan suka sama Rara Mendut itu. Tapi enggak boleh, terus pada lari ke Hutan Cepor. Ini dulu namanya Hutan Cepor," tuturnya.

Setelah sampai di tempat itu, Pronocitro kemudian terbunuh. Mengetahui hal itu, Rara Mendut kemudian bunuh diri, lalu keduanya dimakamkan di tempat yang sama. "Terus dikuburkan di situ berdua. Itu dua kijing tapi entah satu makam atau beda-beda. Kan sumpahnya nek ra karo kuwi, terimo mati (kalau tidak sama dia, lebih baik mati), kan gitu." Dari berbagai sumber lain, disebutkan kisah cinta Rara Mendut dan Pronocitro terjadi sekitar abad ke-17 atau kurang lebih pada 1600-an, zaman Kesultanan Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung.

Kesultanan Mataram berusaha memperluas wilayahnya hingga ke pesisir utara Jawa, termasuk Kadipaten Pesantenan yang kini bernama Kabupaten Pati, yang adipatinya memiliki anak angkat bernama Rara Mendut.

Warga sekitar kurang mendukung juga, apalagi di sini mayoritasnya kan muslim.

Setelah takluk oleh Mataram, Adipati Pati menyerahkan upeti harta benda kepada keraton Mataram, termasuk puteri angkatnya yang cantik jelita, Rara Mendut. 

Setelah Rara Mendut berada di Keraton Mataram, seorang tumenggung bernama Wiroguno jatuh hati padanya. Wiroguno berencana mempersuntingnya, tapi Rara Mendut tidak mau, karena dia memiliki kekasih bernama Pronocitro.

Wiroguno tak kehabisan akal. Karena Rara Mendut tidak mau menjadi selirnya, dia pun mewajibkan Rara Mendut untuk membayar upeti. Rara Mendut menyanggupi, dan berjualan tembakau di pasar.

Rara Mendut juga memanfaatkan wajahnya yang rupawan untuk menarik pembeli. Dia menjual rokok yang telah diisapnya dengan harga mahal. 

Pronocitro pun menyusul Roro Mendut ke Mataram. Keduanya secara tidak sengaja bertemu dan merencanakan pelarian. Rencana itu disampaikan Rara Mendut pada Putri Arumardi, seorang selir Wiroguno yang diketahuinya tidak setuju jika Wiroguno menambah selir.

Selir tersebut kemudian membantu rencana pelarian Rara Mendut. Tapi sayang, pelarian mereka diketahui Wiroguno, yang kemudian mengejarnya bersama pasukan kerajaan. 

Pronocitro terbunuh. Wiroguno mengajak Rara Mendut ke makam Pronocitro, untuk menunjukkan bahwa Pronocitro telah tewas. Roro Mendut yang mengetahui hal itu kemudian bunuh diri menggunakan keris milik Wiroguno. 

Ritual Seks untuk Pesugihan

Hingga berpuluh tahun bahkan beratus tahun sejak kejadian itu, makam Rara Mendut sering diziarahi untuk mencari pesugihan atau penglaris. 

Salah satu ritual yang diyakini harus dilakukan para pencari pesugihan itu adalah berhubungan seks di sekitar area makam, tapi mereka tidak boleh berhubungan seks dengan suami atau istri sah.

"Katanya kalau ke sini harus berdua sama selingkuhan, gitu, bukan sama istri atau suami, itu menurut cerita orang. Itu kan cerita turun temurun. Ceritane ki asline (cerita aslinya) kayak gimana kan enggak tahu," tutur Yati.

Ritual menyimpang dari ajaran agama tersebut memunculkan penolakan oleh warga sekitar. Apalagi lokasi sekitar makam mulai digunakan untuk area sabung ayam dan minum-minuman keras. Akhirnya, warga pun membongkar pagar makam yang memang sudah rusak akibat gempa bumi.

Meski pagar makam sudah dibongkar dan beberapa pohon besar di sekitar tempat itu sudah ditebang, tapi nuansa mistis di sana masih cukup terasa. 

"Memang masih ada aura enggak enaknya, kok ketoke rodo piye (kok kelihatannya agak gimana), padahal kan sebetulnya pohon-pohon besar di situ sudah ditebang. Tapi masih saja ada enggak enaknya. Kalau masih ada pohon besarnya ya lebih ngeri lagi," tutur Yati. 

Seorang warga lain, Wanto, 39 tahun, mengatakan hal yang sama. Menurutnya, warga sekitar merasa resah dengan adanya ritual seks dan kegiatan negatif lain yang dilakukan di sekitar area makam. "Warga sekitar kurang mendukung juga, apalagi di sini mayoritasnya kan muslim. Saya sendiri kurang tahu persis seperti bagaimana pokok permasalahannya. Yang jelas warga kayaknya kurang mendukung."

Baca juga; 8 Sosok Hantu Menyeramkan dari Kalimantan Barat

"Konon ceritanya yang ingin sesuatu yang lebih kayaknya harus pakai pasangan yang bukan suami istri. Terus warga sini merasa terganggu dan kurang nyaman, kalau yang cuma rombongan itu enggak apa-apa, cuma pengin tahu keadaan di sini. Sebenarnya cagar budaya juga ini, Mas," tutur Wanto. 

Wanto mengaku tidak tahu apakah saat ini masih ada peziarah yang sering datang atau tidak. Tapi, beberapa tahun lalu, tempat itu ramai dikunjungi peziarah setiap Selasa atau Malam Jumat Kliwon. "Sejak dibongkar itu tamu juga kurang, enggak kayak dulu-dulu, khususnya pas Selasa Kliwon atau Malam Jumat Kliwon, berduyun-duyun gitu."

Tidak ada komentar