Tameng dan Senjata Melawan Korupsi
Korupsi sangat identik dengan negara ini. Ketika Indonesia disebut, korupsi adalah kata lain yang dengan mudah diikutkan sebagai pelengkap. Media cetak dan televisi tak akan pernah kehabisan bahan jika harus mengungkap informasi mengenai korupsi. Tak perlu investigasi ke pusat pemerintahan seperti gedung DPR, cukup menengok kantor-kator kelurahan setempat saja sudah terpuaskan. Tidak perlu menyelidiki pejabat pemerintahan, oknum dijalanan saja dengan terbuka mau menampakkan kelakuannya. Tak perlu melihat orang lain, diri sendiri saja sadar tak sadar kerap menumbuhkembangkan perilaku korupsi. Sedemikian itu kah korupsi seperti mendarah daging dengan Bangsa ini ?
Korupsi memiliki beberapa pengertian. Secara harfiah korupsi memiliki arti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan tidak bermoral. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan lain-lain. Sedangkan secara yuridis yang diatur pada UU No. 20/2001, korupsi berarti tindakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. DR Abraham Samad selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi menambahkan bahwa semua perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang ada dapat dikatakan sebagai korupsi. Sebagai contoh adalah mencontek, melanggar lalu lintas, dan menyogok aparat ketika terkena tilang.
Kemunculan korupsi tentunya didasari oleh berbagai penyebab dan latar belakang. Salah satu penyebab tumbuhnya perilaku korupsi adalah buruknya sistem pendidikan. Pendidikan di Indonesia belum mampu menyajikan benteng untuk melindungi putra-putri bangsa dari tindakan yang menggiring kearah penyelewangan, termasuk korupsi. Pelajar di tanah air hanya dijejali materi keilmuan tanpa diseimbangkan dengan kearifan dalam pemanfatan ilmu tersebut. Semangat untuk sekolah dan masuk ke jenjang yang lebih tinggi ternodai dengan keinginan semu akan prestise atau gengsi terhadap sekolah favorit. Minat dan keinginan untuk belajar kerap dikesampingkan hanya karena harapan akan prospek kerja yang cerah. Tidak sedikit hal tersebut muncul karena orang tua yang memaksakan kehendak pada anaknya. Untuk apa menyekolahkan anak mahal-mahal jika tempat anak tersebut sekolah tidak mampu memberikan prospek yang setimpal ? Budaya perhitungan tersebut lambat laun dapat mengarahkan insan akademik lulusan tempat bergengsi berupaya secepat-cepatnya meraup keuntungan saat menapaki jenjang kerja. Tak ada nilai-nilai moral yang dapat diserap dari bangku pendidikan yang telah dijalani. Atau mungkin memang tidak ada nilai moral yang dipaparkan dan dicontohkan oleh para akademisi. Faktanya, sebagian besar koruptor adalah orang-orang terpelajar yang berasal dari berbagai institusi pendidikan ternama. Sungguh sangat disayangkan jika tempat terbaik diisi oleh orang-orang buruk. Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan hanya menjadi daftar pelajaran yang harus disampaikan, bukan dihayati dan diterapkan.
Selanjutnya, pendidikan di Indonesia belum mampu memberikan senjata untuk melawan pengaruh kemerosotan moral dan budi pekerti. Insan akademik yang mengerti dan mengetahui dengan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi, tak mampu berbuat banyak jika menyaksikan adanya perilaku korupsi. Ada yang bersikap tak peduli, yang penting tidak melakukan korupsi. Ada yang peduli namun hanya mampu menasihati rekan dan keluarga untuk tidak mengikuti. Ada yang peduli, tapi takut untuk menasihati. Ada yang sudah menasihati namun menyerah karena tak pernah ditanggapi. Namun sedikit yang berani beraksi, dengan menasihati, menegur, dan memberi sanksi. Sanksinya dapat dilaporkan kepada pihak berwenang untuk diusut lebih lanjut.
Praktek korupsi dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pelajar yang terbiasa mencontek karena malas belajar dan tidak percaya diri masih saja ada. Ujian yang difungsikan untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa berubah arah karena paradigma untuk mendapatkan nilai sebesar-besarnya, meskipun dengan cara curang. Surat ijin sakit yang kerap kali adalah surat palsu juga masih dapat ditemui. Titip absen melalui perantara teman yang menghadiri perkuliahan menjadi cara mudah untuk membolos. Plagiarisme dalam pengerjaan tugas dan karya tulis menambahkan bukti bahwa antusiasme untuk mencari ilmu sudah berkurang dan arah pendidikan telah menyimpang. Jika perbuatan curang ini tidak dihentikan, bibit korupsi akan terus tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan pelajar tersebut. Tak hanya berkembang, tetapi juga turun-temurun hingga generasi selanjutnya.
Dampak segilitir orang yang melakukan korupsi dapat dirasakan oleh 241 juta penduduk Indonesia. Berdasarkan data KPK, jumlah angkatan kerja di Indonesia 117,27 juta orang, jumlah angkatan kerja sebesar 109,67 juta jiwa, sedangkan jumlah pengangguran mencapai 7,7 juta jiwa (6,56%). Korupsi telah memunculkan banyak bos baru. Bos yang berkuasa dengan cara cepat, mudah, dan sedikit anak buah. Bos yang menjadi penguasa tanpa proses jungkir balik. Sisanya hanya menjadi penonton dan menambah daftar angka pengangguran. Praktik korupsi juga menodai perjuangan dalam seleksi penerimaan kerja. Akibatnya, yang berduit yang terpilih, yang miskin semakin miskin.
Pada tahun 2011, potensi kerugian negara akibat korupsi yang bisa diselamatkan mencapai Rp.153 triliun. Jika dipergunakan dengan baik, dana sebesar itu dapat dialokasikan untuk memberikan sekolah gratis kepada 271 juta anak SD, 221 juta anak SMP selama 1 tahun, memberikan 1,57 juta rumah gratis, 14,3 milyar liter susu untuk anak kurang gizi, 18,5 milyar liter beras untuk daerah rawan pangan, membangun 1,24 juta unit ruang kelas,dan 31,4 juta unit komputer untuk sekolah (Litbang KPK). Dapat dibayangkan betapa makmurnya warga negara jika potensi kerugian korupsi tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, khususnya bidang pendidikan yang menjadi salah satu akar permasalahan.
Pendidikan lagi-lagi mendapat pertanyaan serius manakala para elit politik dan pemangku jabatan di pemerintahan menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Menurut laporan ICW, pada semester I 2012, terungkap 285 kasus korupsi dengan 597 tersangka baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Potensi kerugian mencapai 1,22 triliun rupiah. Pembangunan infrastruktur menjadi objek korupsi paling dominan melalui penggelembungan anggaran.
Pembenahan sistem pendidikan di Indonesia perlu dilakukan. Pendidikan harus mampu memberikan benteng berupa kejujuran dan senjata berupa keberanian untuk dapat menghalau dan melawan berbagai tindakan penyimpangan, khususnya korupsi. Pendidikan tidak cukup dengan menjadikan siswa pintar, namun yang lebih penting yaitu menjadikan siswa memiliki karakter luhur, berintegritas, dan menjunjung norma-norma agama dan kemasyarakatan.
Oleh :Hendra Haryansyah
Tidak ada komentar