Apa Benar Sembahyang Leluhur Nusantara Mirip Shalat?
Sedudoshare - Apa Benar Sembahyang Leluhur Nusantara Mirip Shalat?
Apa sebab Islam disebut sebagai rahmat bagi seluruh alam? Benarkah apa yang sering kita dengar bahwa seluruh Nabi dan Rasul sejatinya adalah Muslim?
Jika demikian, dapatkah kita menganggap bahwa Islam di sini berbeda dengan Islam di sana, sehingga Islam seolah kehilangan universalitasnya? Apalagi bila ternyata, di bumi Nusantara pun ratusan tahun silam sudah terdapat keyakinan yang boleh dikata juga “Islami”. Dalam artian tidak bertentangan dengan ajaran tauhid (monoteisme) dalam Islam.
Hasil kajian pustaka oleh para ahli sejarah menyebutkan bahwa sebagaimana keyakinan dalam Islam, di Nusantara khususnya tanah Jawa, sejak ratusan tahun silam sudah dianut satu keyakinan bercorak monoteis. Yakni kepercayaan akan keberadaan suatu entitas Tunggal tak kasat mata namun memiliki kekuatan adikodrati terhadap kehidupan dunia. Entitas Tunggal inilah yang mereka yakini, dianggap layak sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mereka sebut sebagai Sang Hyang Taya. Dan dari sebutan itulah pula kemudian muncul istilah Kapitayan, mengacu pada corak keyakinan kepada Sang Hyang Taya, Dzat Maha Kuasa, Pencipta dan Pengatur segala sesuatu.
Konon Kapitayan inilah “agama asli” nenek moyang kita yang sebenarnya sudah ada di bumi Nusantara sejak awal, bukan animisme dan dinamisme sebagaimana “dituduhkan” sejarawan orientalis di sebagian buku-buku sejarah kita di masa-masa belakangan.
Mungkin perlu diketahui bahwa konsep Hyang sebenarnya adalah konsep asli dari sistem kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep ajaran Hindu atau Buddha dari India sebagaimana yang selama ini sering dipahami banyak orang. Karena kata Hyang sendiri sudah lama dikenal dalam bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Kawi dan Bali yang bermakna keberadaan kekuatan adikodrati yang supranatural.
Keberadaan spiritual bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya. Entitas Absolut yang mustahil dibayangkan dan digambarkan, apalagi sekadar didekati dengan panca indera. Maka karena sifatnya yang demikian lah orang Jawa pun mendefinisikan Sang Hyang Taya (yang berarti Hampa atau Kosong, tapi bukan berarti tak ada), dalam satu kalimat bernas “Tan kena kinaya ngapa”, yang keberadaan-Nya sama sekali tak bisa diapa-apakan.
Begitulah cara orang Jawa “bertauhid” (mengakui dan meyakini bahwa Tuhan itu Maha Esa) pada masa itu.
Itulah “akidah” orang Jawa, sebelum apa yang kita sebut sebagai agama samawi diperkenalkan kepada mereka, ratusan tahun setelahnya.
Menganalogikan dengan pemahaman keberagamaan kita di zaman sekarang, lalu bagaimana akidah itu mereka terjemahkan ke dalam syariah?
Apakah mereka punya semacam Kitab Suci, berisi tuntunan perilaku dan beragam tatacara ritual atau prosesi ibadah?
Bukankah orang Jawa juga dikenal berpemahaman bahwa keyakinan yang dianut tak patut hanya berhenti pada keyakinan, apalagi bahan perdebatan semata, melainkan harus mengejawantah dalam tingkah laku dalam kehidupan keseharian mereka?
Sejarawan juga menyebutkan, meski tak berwujud Kitab Suci agama-agama samawi sebagaimana bentuknya yang kita kenal sekarang, tapi masyarakat Jawa kala itu telah bersepakat untuk memiliki apa yang disebut sebagai pakem, yakni semacam konsensus yang mesti dijaga ketat dalam berkeyakinan dan berperilaku, yang kesemuanya diarahkan pada apa yang mereka sebut sebagai Tata Krama atau Aturan Hidup Luhur agar orang Jawa menjelma sebagai sosok manusia yang Hanjawani (memiliki akhlak terpuji).
Tata Krama dengan pakem yang terjaga ketat itulah yang dapat dianggap sebagai Kitab Suci keyakinan Kapitayan yang juga mengatur “muamalah” orang Jawa dalam bermasyarakat, bukan saja dalam melaksanakan sejumlah laku atau ibadah yang bertumpu pada prinsip keseimbangan kosmos, sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
Maka dari itu, sebagaimana dalam Islam dikenal beragam tingkatan ibadah seperti Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Makrifat, maka di kalangan Kapitayan pun sudah dikenal adanya praktik-praktik laku yang berbeda antara masyarakat awam dan kalangan “di atas awam” dalam “berhubungan” dengan Sang Hyang Tunggal yang Maha Ghaib.
Bagi kalangan awam Kapitayan, karena Sang Hyang Tunggal diyakini bersifat ghaib, maka untuk memuja-Nya tentu dibutuhkan berbagai sarana yang bisa terindra alias terjangkau alam pikiran manusia. Itu sebabnya, kalangan ini berkeyakinan bahwa kekuatan ghaib dari Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya sejatinya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya ghaib” yang bersifat adikodrati. Dengan pemahaman itulah mereka juga yakin bahwa TU atau TO itu “tersembunyi” di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO.
Karena itu, tak heran bila pengikut ajaran Kapitayan pun meyakini adanya kekuatan ghaib pada benda-benda yang namanya mengandung unsur “TU” atau “TO” seperti wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya dan sebagainya. Maka dalam melakukan bhakti pamujan kepada Sang Hyang Taya, mereka pun biasanya menyediakan sesajen berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, dan lain sebagainya, yang kesemuanya dianggap memiliki kekuatan magis.
Sementara untuk para “ulama” Kapitayan, yang tingkatan pemahamannya berada jauh di atas pemahaman kalangan awam, sudah memiliki tatacara tersendiri dalam menyembah langsung atau “Sembahyang” (dari kata Sembah ing Hyang) kepada Sang Hyang Taya.
Di sebuah tempat ibadah yang disebut Sanggar (mirip juga dengan sebutan Langgar atau surau di kampung-kampung), penyembahan ini dilakukan dengan gerakan-gerakan tertentu, yang urut-urutannya juga sangat mirip dengan tatacara Shalat kita di zaman sekarang.
Pertama, seperti Takbiratul Ihram, sambil menghadap TU-tuk (lubang) di dinding sebagai lambang kehampaan (mirip “pengimaman” Masjid atau Mushalla sekarang), ulama Kapitayan melakukan TU-lajeg (berdiri tegak) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan” Sang Hyang Taya di dalam TU-tud (hati). Setelah dirasa Sang Hyang Taya sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya adalah tangan diturunkan.
Setelah TU-lajeg dirasa cukup, gerakan dilanjutkan ke posisi tubuh TU-ngkul (membungkuk dengan wajah menghadap ke tanah, persis seperti posisi Rukuk dalam shalat). Setelah itu, gerakan dilanjutkan lagi ke posisi TU-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki, mirip duduk Iftirasy), sampai kemudian beranjak ke posisi terakhir yang disebut TO-ndhem (bersujud) dengan menempelkan dahi di atas tanah.
Sampai di sini, muncul pertanyaan: mengapa tatacara ibadah Kapitayan ini sangat mirip (kalau tak boleh disebut persis) dengan tatacara shalat kita dalam Islam?
Benarkah nenek moyang kaum pribumi Nusantara lama merupakan anak keturunan Nabi Sysh dan Nabi Nuh as, sebagaimana dinyatakan sebagian kalangan peneliti sejarah?
Dapatkah hal ini dianggap sebagai bukti pendukung dan jawaban atas pertanyaan di awal tulisan ini, bahwa seluruh Nabi dan Rasul, tak terkecuali Nabi Sysh dan Nabi Nuh, sejatinya adalah Muslim?
Inikah pula penyebab utama tak adanya perlawanan berarti dari masyarakat Nusantara atas kehadiran ajaran Islam yang dibawa para Wali dalam dakwah mereka, khususnya di tanah Jawa?
Atau mungkinkah justru ini alasan sebenarnya kenapa para Walisongo mendakwahkan Islam dengan cara mengakomodir tradisi, budaya dan kearifan lokal yang sudah ada, karena sesungguhnya para Wali itu sudah tahu sebelumnya bahwa masyarakat Nusantara memang sudah berstatus “muslim” sejak lama?
Wallahu ‘a’lam....
Baca juga: Bacaan Slametan, Kenduri, Kendurenan/ Syukuran Dalam Bahasa Jawa
Sumber: ------
Tidak ada komentar